|
Senin, 27 Februari 2012
SIHIR, PARANORMAL DAN PRAKTEK PERDUKUNAN DALAM ISLAM
Published :
17.19
Author :
rahmad nur wakhid
Hikayat Iblis : Dialog Iblis vs Rasulullah SAW
Published :
16.29
Author :
rahmad nur wakhid
|
Minggu, 26 Februari 2012
Fiqih Islam
Published :
20.22
Author :
rahmad nur wakhid
Fiqih Islam
PENGERTIAN FIQIH
Fiqih menurut bahasa berarti paham, seperti dalam firman Allah :“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa :78)
Fiqih menurut bahasa berarti paham, seperti dalam firman Allah :“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa :78)
dan sabda Rasulullah :“Sesungguhnya
panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan
kepahamannya” (Muslim no.1437, Ahmad no.17598, Daarimi
no.1511)
Fiqih Secara istilah mengandung dua arti:
Fiqih Secara istilah mengandung dua arti:
1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang
berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah
terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang
bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang
bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri
Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
HUBUNGAN ANTARA FIQIH DAN AQIDAH
ISLAM
Diantara keistimewaan fiqih Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Diantara keistimewaan fiqih Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya:
a. Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya
sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya
:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS.Al
maidah:6)
b. Juga seperti shalat dan zakat yang Allah
kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya
:“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat
dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml:3)
Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi
kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu
persatu. (lihat fiqhul manhaj hal.9-12)FIQIH ISLAM MENCAKUP
SELURUH KEBUTUHAN MANUSIA
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah
kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini
disebut dengan Fiqih Ibadah.
2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah
kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan
yang lainya. Dan ini disebut dengan fikih Al ahwal As
sakhsiyah.
3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan
manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa,
pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut fiqih
mu’amalah.
4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan
kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan,
memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan
dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam
hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan fiqih
siasah syar’iah.
5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman
terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban.
Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini
disebut sebagai fiqih Al ‘ukubat.
6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri
Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang
atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan fiqih as
Siyar.
7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan
prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan
akhlak
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
SUMBER-SUMBER FIQIH
ISLAM
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
AL QUR’AN
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh :
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh :
a. Bila kita ditanya tentang hukum khamer
(miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita
merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah
swt: (QS. Al maidah : 90)
b. Bila kita ditanya tentang masalah jual beli
dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al
baqarah : 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak
memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
AS SUNNAH
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi :
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”( Bukhari no.46,48, muslim no. .64,97, Tirmidzi no.1906,2558, Nasa’I no.4036, 4037, Ibnu Majah no.68, Ahmad no.3465,3708)
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”( Bukhari no.46,48, muslim no. .64,97, Tirmidzi no.1906,2558, Nasa’I no.4036, 4037, Ibnu Majah no.68, Ahmad no.3465,3708)
Contoh perbuatan:
apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no.635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.3413, dan Ahmad no.23093,23800,34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: apa yang biasa dilakukan Rasulullah dirumahnya ? Aisyah menjawab:“Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no.635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.3413, dan Ahmad no.23093,23800,34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: apa yang biasa dilakukan Rasulullah dirumahnya ? Aisyah menjawab:“Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan :
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no.1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya:“Shalat subuh itu dua rakaat” orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi saw terdiam”
Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no.1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya:“Shalat subuh itu dua rakaat” orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi saw terdiam”
Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an.
Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka
kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan
hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi e dengan sanad
yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang
bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya
didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat
aku shalat” (Bukhari no.595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian
hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai
cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
IJMA’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib.
Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah ra, bahwa Nabi saw bersabda:
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib.
Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah ra, bahwa Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan
ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan” (Tirmidzi
no.2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita
tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal
yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para
ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal
dengannya.
QIYAS
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya.
Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya.
Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil), 2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil), 2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam
perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih
lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam ( fiqhul
manhaj, ‘ala manhaj imam syafi’i)
Wallahu A’lam .
As-Sunnah, Wahyu Kedua Setelah Al-Qur'an
Published :
20.18
Author :
rahmad nur wakhid
As-Sunnah, Wahyu Kedua Setelah Al-Qur`an
Pengertian As-Sunnah
Yang dimaksud As-Sunnah di sini adalah Sunnah
Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan,
perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para
sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini. Termasuk
didalamnya apa saja yang hukumnya wajib dan sunnah sebagaimana yang menjadi
pengertian umum menurut ahli hadits. Juga ‘segala apa yang dianjurkan
yang tidak sampai pada derajat wajib’ yang menjadi istilah ahli fikih
(Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqaid wa al Ahkam karya As-Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 11).
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Para ulama juga menafsirkan firman Allah
:“…dan supaya mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al
BAqarah ayat 129)
Al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah As-Sunnah
seperti diterangkan oleh Imam As-Syafi`i, “Setiap kata al-hikmah dalam
Al-Qur`an yang dimaksud adalah As-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan oleh
para ulama yang lain. ( Al-Madkhal Li Dirasah Al Aqidah Al-Islamiyah hal.
24)
As-Sunnah Terjaga Sampai Hari
Kiamat
Diantara pengetahuan yang sangat penting, namun banyak orang melalaikannya, yaitu bahwa As-Sunnah termasuk dalam kata ‘Adz-Dzikr’ yang termaktub dalam firman Allah Al-Qur`an surat al-Hijr ayat 9, yang terjaga dari kepunahan dan ketercampuran dengan selainnya, sehingga dapat dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Tidak seperti yang di sangka oleh sebagian kelompok sesat, seperti Qadianiyah (Kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani yang mengaku sebagai nabi, yang muncul di negeri India pada masa penjajahan Inggris) dan Qur`aniyun (Kelompok yang mengingkari As-Sunnah, dan hanya berpegang pada Al-Qur’an), yang hanya mengimani (meyakini) Al-Qur`an namun menolak As-Sunnah. Mereka beranggapan salah (dari sini nampak sekali kebodohan mereka akan Al Qur’an, seandainya mereka benar-benar mengimani Al Qur’an sudah pasti mereka akan mengimani As-Sunnah, karena betapa banyak ayat Al Qur’an yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah yang sudah barang tentu menunjukkan perintah untuk mengikuti As-Sunnah) tatkala mengatakan bahwa As-Sunnah telah tercampur dengan kedustaan manusia; tidak lagi bisa dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Sehingga, mereka menyangka, setelah wafatnya Rasulullah , kaum muslimin tidak mungkin lagi mengambil faedah dan merujuk kepada as-Sunnah.( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi Al Aqaid wal Ahkam hal. 16)
Diantara pengetahuan yang sangat penting, namun banyak orang melalaikannya, yaitu bahwa As-Sunnah termasuk dalam kata ‘Adz-Dzikr’ yang termaktub dalam firman Allah Al-Qur`an surat al-Hijr ayat 9, yang terjaga dari kepunahan dan ketercampuran dengan selainnya, sehingga dapat dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Tidak seperti yang di sangka oleh sebagian kelompok sesat, seperti Qadianiyah (Kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani yang mengaku sebagai nabi, yang muncul di negeri India pada masa penjajahan Inggris) dan Qur`aniyun (Kelompok yang mengingkari As-Sunnah, dan hanya berpegang pada Al-Qur’an), yang hanya mengimani (meyakini) Al-Qur`an namun menolak As-Sunnah. Mereka beranggapan salah (dari sini nampak sekali kebodohan mereka akan Al Qur’an, seandainya mereka benar-benar mengimani Al Qur’an sudah pasti mereka akan mengimani As-Sunnah, karena betapa banyak ayat Al Qur’an yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah yang sudah barang tentu menunjukkan perintah untuk mengikuti As-Sunnah) tatkala mengatakan bahwa As-Sunnah telah tercampur dengan kedustaan manusia; tidak lagi bisa dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Sehingga, mereka menyangka, setelah wafatnya Rasulullah , kaum muslimin tidak mungkin lagi mengambil faedah dan merujuk kepada as-Sunnah.( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi Al Aqaid wal Ahkam hal. 16)
Dalil-dalil yang Menunjukkan
Terpeliharanya As-Sunnah:
Pertama:
Firman Allah:إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr:9)
Adz-Dzikr dalam ayat ini mencakup Al-Qur’an dan –bila diteliti dengan cermat- mencakup pula As-Sunnah.
Firman Allah:إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr:9)
Adz-Dzikr dalam ayat ini mencakup Al-Qur’an dan –bila diteliti dengan cermat- mencakup pula As-Sunnah.
Sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa
seluruh sabda Rasulullah yang berkaitan dengan agama adalah wahyu dari Allah
sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:“Dan tiadalah yang diucapkannya
(Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (Q.S. An-Najm:3)
Tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa atau ahli syariat bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikr. Dengan demikian, sudah pasti bahwa yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam penjagaan Allah; dan termasuk di dalamnya As-Sunnah.
Tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa atau ahli syariat bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikr. Dengan demikian, sudah pasti bahwa yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam penjagaan Allah; dan termasuk di dalamnya As-Sunnah.
Segala apa yang telah dijamin oleh Allah untuk
dijaga, tidak akan punah dan tidak akan terjadi penyelewengan sedikitpun. Bila
ada sedikit saja penyelewengan, niscaya akan dijelaskan kebatilan penyelewengan
tersebut sebagai konsekuensi dari penjagaan Allah. Karena seandainya
penyelewengan itu terjadi sementara tidak ada penjelasan akan kebatilannya, hal
itu menunjukkan ketidak akuratan firman Allah yang telah menyebutkan jaminan
penjagaan. Tentu saja yang seperti ini tidak akan terbetik sedikitpun pada benak
seorang muslim yang berakal sehat.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa agama yang
dibawa oleh Muhammad ini pasti terjaga. Allah sendirilah yang bertanggung jawab
menjaganya; dan itu akan terus berlangsung hingga akhir kehidupan dunia ini
( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad
Nashiruddin Al-Albani hal. 16-17)
Kedua:
Allah menjadikan Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, serta menjadikan syari’at yang dibawanya sebagai syari’at penutup. Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk beriman dan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Muhammad sampai Hari Kiamat, yang hal ini secara otomatis menghapus seluruh syari’at selainnya. Dan adanya perintah Allah untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia, menjadikan syariat agama Muhammad tetap abadi dan terjaga. Adalah suatu kemustahilan, Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk mengikuti sebuah syari’at yang bisa punah. Sudah kita maklumi bahwa dua sumber utama syari’at Islam adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka bila Al-Qur’an telah dijamin keabadiannya, tentu As-Sunnah pun demikian ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 19-20)
Allah menjadikan Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, serta menjadikan syari’at yang dibawanya sebagai syari’at penutup. Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk beriman dan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Muhammad sampai Hari Kiamat, yang hal ini secara otomatis menghapus seluruh syari’at selainnya. Dan adanya perintah Allah untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia, menjadikan syariat agama Muhammad tetap abadi dan terjaga. Adalah suatu kemustahilan, Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk mengikuti sebuah syari’at yang bisa punah. Sudah kita maklumi bahwa dua sumber utama syari’at Islam adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka bila Al-Qur’an telah dijamin keabadiannya, tentu As-Sunnah pun demikian ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 19-20)
Ketiga:
Seorang yang memperhatikan perjalanan umat Islam, niscaya ia akan menemukan bukti adanya penjagaan As-Sunnah. Diantaranya sebagai berikut (Al Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah, hal. 25):
Seorang yang memperhatikan perjalanan umat Islam, niscaya ia akan menemukan bukti adanya penjagaan As-Sunnah. Diantaranya sebagai berikut (Al Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah, hal. 25):
(a) Perintah Nabi kepada para sahabatnya agar
menjalankan As-Sunnah.
(b) Semangat para sahabat dalam menyampaikan
As-Sunnah.
(c) Semangat para ulama di setiap zaman dalam
mengumpulkan As-Sunnah dan menelitinya sebelum mereka menerimanya.
(d) Penelitian para ulama terhadap para periwayat
As-Sunnah.
(e) Dibukukannya Ilmu Al Jarh wa At Ta’dil.(
Ilmu yang membahas penilaian para ahli hadits terhadap para periwayat hadits,
baik berkaitan dengan pujian maupun celaan, Pen.)
(f) Dikumpulkannya hadits–hadits yang cacat, lalu
dibahas sebab-sebab cacatnya.
(g) Pembukuan hadits-hadits dan pemisahan antara
yang diterima dan yang ditolak.
(h) Pembukuan biografi para periwayat hadits
secara lengkap.
Wajib merujuk kepada As-Sunnah dan haram
menyelisihinya
Pembaca yang budiman, sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pembaca yang budiman, sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Perintah Al-Qur`an agar berhukum dengan
As-Sunnah
Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan As-Sunnah, diantaranya:
Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan As-Sunnah, diantaranya:
1.
Firman Allah :“Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan
mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan
mereka, mereka memilih pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya, sungguh, dia telah nyata-nyata sesat.” (Q.S. Al Ahzab:
36)
2.
Firman Allah :“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. 49:1)
3.
Firman Allah :“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Q.S. Ali
Imran: 32)
4.
Firman Allah :“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah kamu
berbantah-bantahan, karena akan menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(Q.S. Al Anfal: 46)
5.
Firman Allah :“Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang ia
kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai
Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan mendapatkan
siksa yang menghinakan.” (Q.S. An Nisa’: 13-14)
Hadits-hadits yang memerintahkan agar
mengikuti Nabi dalam segala hal diantaranya:
1. Abu
Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:“Setiap umatku akan masuk
Surga, kecuali orang yang engan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah,
siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku
akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”.
(HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham) (Hadits no. 6851).
2. Abu
Rafi’ mengatakan bahwa Rasulullah bersabda :“Sungguh, akan aku dapati
salah seorang dari kalian bertelekan di atas sofanya, yang apabila sampai
kepadanya hal-hal yang aku perintahkan atau aku larang dia berkata, ‘Saya tidak
tahu. Apa yang ada dalam Al-Qur`an itulah yang akan kami ikuti”, (HR Imam Ahmad
VI/8 , Abu Dawud (no. 4605), Tirmidzi (no. 2663), Ibnu Majah (no. 12),
At-Thahawi IV/209).
3. Abu
Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:“Aku tinggalkan dua
perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan
tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah
keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (Sebuah telaga di surga, Pen.).”
(HR. Imam Malik secara mursal (Tidak
menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) Al-Hakim secara musnad
(Sanadnya bersambung dan sampai kepada Rasulullah ) – dan ia
menshahihkannya-) Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (no. 1594), dan Al-HakimAl
Hakim dalam al-Mustadrak (I/172).
Kesimpulan :
1. Tidak ada perbedaan antara hukum Allah dan hukum Rasul-Nya, sehingga tidak diperbolehkan kaum muslimin menyelisihi salah satu dari keduanya. Durhaka kepada Rasulullah berarti durhaka pula kepada Allah, dan hal itu merupakan kesesatan yang nyata.
2. Larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Rasulullah sebagaimana kerasnya larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Allah.
3. Sikap berpaling dari mentaati Rasulullah merupakan kebiasaan orang-orang kafir.
4. Sikap rela/ridha terhadap perselisihan, -dengan tidak mau mengembalikan penyelesaiannya kepada As-Sunnah- merupakan salah satu sebab utama yang meruntuhkan semangat juang kaum muslimin, dan memusnahkan daya kekuatan mereka.
5. Taat kepada Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang ke dalam Surga; sedangkan durhaka dan melanggar batasan-batasan (hukum) yang ditetapkan oleh Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang kedalam Neraka dan memperoleh adzab yang menghinakan.
6. Sesungguhnya Al-Qur`an membutuhkan As-Sunnah (karena ia sebagai penjelas Al-Qur’an); bahkan As-Sunnah itu sama seperti Al-Qur`an dari sisi wajib ditaati dan diikuti. Barangsiapa tidak menjadikannya sebagai sumber hukum berarti telah menyimpang dari tuntunan Rasulullah
7. Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah akan menjaga kita dari penyelewengan dan kesesatan. Karena, hukum-hukum yang ada di dalamnya berlaku sampai hari kiamat. Maka tidak boleh membedakan keduanya.
1. Tidak ada perbedaan antara hukum Allah dan hukum Rasul-Nya, sehingga tidak diperbolehkan kaum muslimin menyelisihi salah satu dari keduanya. Durhaka kepada Rasulullah berarti durhaka pula kepada Allah, dan hal itu merupakan kesesatan yang nyata.
2. Larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Rasulullah sebagaimana kerasnya larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Allah.
3. Sikap berpaling dari mentaati Rasulullah merupakan kebiasaan orang-orang kafir.
4. Sikap rela/ridha terhadap perselisihan, -dengan tidak mau mengembalikan penyelesaiannya kepada As-Sunnah- merupakan salah satu sebab utama yang meruntuhkan semangat juang kaum muslimin, dan memusnahkan daya kekuatan mereka.
5. Taat kepada Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang ke dalam Surga; sedangkan durhaka dan melanggar batasan-batasan (hukum) yang ditetapkan oleh Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang kedalam Neraka dan memperoleh adzab yang menghinakan.
6. Sesungguhnya Al-Qur`an membutuhkan As-Sunnah (karena ia sebagai penjelas Al-Qur’an); bahkan As-Sunnah itu sama seperti Al-Qur`an dari sisi wajib ditaati dan diikuti. Barangsiapa tidak menjadikannya sebagai sumber hukum berarti telah menyimpang dari tuntunan Rasulullah
7. Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah akan menjaga kita dari penyelewengan dan kesesatan. Karena, hukum-hukum yang ada di dalamnya berlaku sampai hari kiamat. Maka tidak boleh membedakan keduanya.
Referensi:
1. Al-Hadits Hujjatun bi nafsihi fil Aqaid wa Al Ahkam, karya as-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. III/1400 H, Ad-Dar As-Salafiyah, Kuwait.
2. Al-Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah ‘ala Madzhab Ahli As Sunnah, karya Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan, penerbit Dar As-Sunnah, cet. III.
1. Al-Hadits Hujjatun bi nafsihi fil Aqaid wa Al Ahkam, karya as-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. III/1400 H, Ad-Dar As-Salafiyah, Kuwait.
2. Al-Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah ‘ala Madzhab Ahli As Sunnah, karya Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan, penerbit Dar As-Sunnah, cet. III.
Wallahu A’lam .
Diambil dari Majalah
Fatawa
"Mengenal Ilmu Hadits"
Published :
19.57
Author :
rahmad nur wakhid
Mengenal Ilmu Hadits
Definisi Musthola'ah
Hadits
HADITS ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya.
ATSAR ialah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW.
TAQRIR ialah keadaan Nabi Muhammad SAW yang mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.
SAHABAT ialah orang yang bertemu Rosulullah SAW dengan pertemuan yang wajar sewaktu beliau masih hidup, dalam keadaan islam lagi beriman dan mati dalam keadaan islam.
TABI'IN ialah orang yang menjumpai sahabat, baik perjumpaan itu lama atau sebentar, dan dalam keadaan beriman dan islam, dan mati dalam keadaan islam.
MATAN ialah lafadz hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, atau disebut juga isi hadits.
HADITS ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, taqrir, dan sebagainya.
ATSAR ialah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW.
TAQRIR ialah keadaan Nabi Muhammad SAW yang mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan oleh para sahabat di hadapan beliau.
SAHABAT ialah orang yang bertemu Rosulullah SAW dengan pertemuan yang wajar sewaktu beliau masih hidup, dalam keadaan islam lagi beriman dan mati dalam keadaan islam.
TABI'IN ialah orang yang menjumpai sahabat, baik perjumpaan itu lama atau sebentar, dan dalam keadaan beriman dan islam, dan mati dalam keadaan islam.
MATAN ialah lafadz hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, atau disebut juga isi hadits.
Unsur-Unsur Yang Harus Ada Dalam Menerima Hadits
Rawi, yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang atau gurunya. Perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan merawi atau meriwayatkan hadits dan orangnya disebut perawi hadits.
Sistem Penyusun Hadits Dalam Menyebutkan Nama Rawi
-
As Sab'ah berarti diriwayatkan oleh tujuh perawi, yaitu :
1. Ahmad
2. Bukhari
3. Turmudzi
4. Nasa'i
5. Muslim
6. Abu Dawud
7. Ibnu Majah -
As Sittah berarti diriwayatkan oleh enam perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad
-
Al Khomsah berarti diriwayatkan oleh lima perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Bukhari dan Muslim
-
Al Arba'ah berarti diriwayatkan oleh empat perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'a) selain Ahmad, Bukhari dan Muslim.
-
Ats Tsalasah berarti diriwayatkan oleh tiga perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad, Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah.
-
Asy Syaikhon berarti diriwayatkan oleh dua orang perawi yaitu : Bukhari dan Muslim
-
Al Jama'ah berarti diriwayatkan oleh para perawi yang banyak sekali jumlahnya (lebih dari tujuh perawi / As Sab'ah).
Matnu'l
Hadits adalah
pembicaraan (kalam) atau materi berita yang berakhir pada sanad yang terakhir.
Baik pembicaraan itu sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam,
sahabat ataupun tabi'in. Baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi, maupun
perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam .
Sanad atau Thariq adalah jalan yang dapat menghubungkan matnu'l hadits kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .
Sanad atau Thariq adalah jalan yang dapat menghubungkan matnu'l hadits kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam .
Gambaran Sanad
Untuk memahami pengertian sanad, dapat digambarkan sebagai berikut: Sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam didengar oleh sahabat (seorang atau lebih). Sahabat ini (seorang atau lebih) menyampaikan kepada tabi'in (seorang atau lebih), kemudian tabi'in menyampaikan pula kepada orang-orang dibawah generasi mereka. Demikian seterusnya hingga dicatat oleh imam-imam ahli hadits seperti Muslim, Bukhari, Abu Dawud, dll.
Contoh:
Waktu meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Bukhari berkata hadits ini diucapkan kepada saya oleh A, dan A berkata diucapkan kepada saya oleh B, dan B berkata diucapkan kepada saya oleh C, dan C berkata diucapkan kepada saya oleh D, dan D berkata diucapkan kepada saya oleh Nabi Muhammad.
Awal Sanad dan akhir Sanad
Menurut istilah ahli hadits, sanad itu ada permulaannya (awal) dan ada kesudahannya (akhir). Seperti contoh diatas yang disebut awal sanad adalah A dan akhir sanad adalah D.
Untuk memahami pengertian sanad, dapat digambarkan sebagai berikut: Sabda Rosulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam didengar oleh sahabat (seorang atau lebih). Sahabat ini (seorang atau lebih) menyampaikan kepada tabi'in (seorang atau lebih), kemudian tabi'in menyampaikan pula kepada orang-orang dibawah generasi mereka. Demikian seterusnya hingga dicatat oleh imam-imam ahli hadits seperti Muslim, Bukhari, Abu Dawud, dll.
Contoh:
Waktu meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, Bukhari berkata hadits ini diucapkan kepada saya oleh A, dan A berkata diucapkan kepada saya oleh B, dan B berkata diucapkan kepada saya oleh C, dan C berkata diucapkan kepada saya oleh D, dan D berkata diucapkan kepada saya oleh Nabi Muhammad.
Awal Sanad dan akhir Sanad
Menurut istilah ahli hadits, sanad itu ada permulaannya (awal) dan ada kesudahannya (akhir). Seperti contoh diatas yang disebut awal sanad adalah A dan akhir sanad adalah D.
Klasifikasi Hadits
Klasifikasi
hadits menurut dapat (diterima) atau ditolaknya hadits sebagai hujjah (dasar
hukum) adalah:
-
Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits.
-
Hadits Makbul adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk hadits makbul adalah Hadits Shohih dan Hadits Hasan.
-
Hadits Hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalan), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul, biasanya dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.
-
Hadits Dhoif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits Dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau hasan yang tidak dipenuhinya.
Syarat-syarat Hadits
Shohih
Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
Suatu hadits dapat dinilai shohih apabila telah memenuhi 5 Syarat :
-
Rawinya bersifat Adil
-
Sempurna ingatan
-
Sanadnya tidak terputus
-
Hadits itu tidak berillat dan
-
Hadits itu tidak janggal
Arti Adil dalam periwayatan, seorang rawi harus
memenuhi 4 syarat untuk dinilai adil, yaitu :
-
Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan maksiat.
-
Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
-
Tidak melakukan perkara-perkara Mubah yang dapat menggugurkan iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.
-
Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar Syara'.
-
Hadits Maudhu': adalah hadits yang diciptakan oleh seorang pendusta yang ciptaan itu mereka katakan bahwa itu adalah sabda Nabi SAW, baik hal itu disengaja maupun tidak.
-
Hadits Matruk: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang dituduh dusta dalam perhaditsan.
-
Hadits Munkar: adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya, banyak kelengahannya atau jelas kefasiqkannya yang bukan karena dusta. Di dalam satu jurusan jika ada hadits yang diriwayatkan oleh dua hadits lemah yang berlawanan, misal yang satu lemah sanadnya, sedang yang satunya lagi lebih lemah sanadnya, maka yang lemah sanadnya dinamakan hadits Ma'ruf dan yang lebih lemah dinamakan hadits Munkar.
-
Hadits Mu'allal (Ma'lul, Mu'all): adalah hadits yang tampaknya baik, namun setelah diadakan suatu penelitian dan penyelidikan ternyata ada cacatnya. Hal ini terjadi karena salah sangka dari rawinya dengan menganggap bahwa sanadnya bersambung, padahal tidak. Hal ini hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang ahli hadits.
-
Hadits Mudraj (saduran): adalah hadits yang disadur dengan sesuatu yang bukan hadits atas perkiraan bahwa saduran itu termasuk hadits.
-
Hadits Maqlub: adalah hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahi hadits lain), disebabkan mendahului atau mengakhirkan.
-
Hadits Mudltharrib: adalah hadits yang menyalahi dengan hadits lain terjadi dengan pergantian pada satu segi yang saling dapat bertahan, dengan tidak ada yang dapat ditarjihkan (dikumpulkan).
-
Hadits Muharraf: adalah hadits yang menyalahi hadits lain terjadi disebabkan karena perubahan Syakal kata, dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.
-
Hadits Mushahhaf: adalah hadits yang mukhalafahnya karena perubahan titik kata, sedang bentuk tulisannya tidak berubah.
-
Hadits Mubham: adalah hadits yang didalam matan atau sanadnya terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan.
-
Hadits Syadz (kejanggalan): adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang makbul (tsiqah) menyalahi riwayat yang lebih rajih, lantaran mempunyai kelebihan kedlabithan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi pentarjihan.
-
Hadits Mukhtalith: adalah hadits yang rawinya buruk hafalannya, disebabkan sudah lanjut usia, tertimpa bahaya, terbakar atau hilang kitab-kitabnya.
-
Hadits Muallaq: adalah hadits yang gugur (inqitha') rawinya seorang atau lebih dari awal sanad.
-
Hadits Mursal: adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'in.
-
Hadits Mudallas: adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda. Rawi yang berbuat demikian disebut Mudallis.
-
Hadits Munqathi': adalah hadits yang gugur rawinya sebelum sahabat, disatu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
-
Hadits Mu'dlal: adalah hadits yang gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih berturut turut, baik sahabat bersama tabi'in, tabi'in bersama tabi'it tabi'in, maupun dua orang sebelum sahabat dan tabi'in.
-
Hadits Mauquf: adalah hadits yang hanya disandarkan kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung atau terputus.
-
Hadits Maqthu': adalah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'in serta di mauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung atau tidak.
Apakah Boleh Berhujjah dengan hadits
Dhoif ?
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits
dhoif yang maudhu' tanpa menyebutkan kemaudhu'annya. Adapun kalau hadits dhoif
itu bukan hadits maudhu' maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya
diriwayatkan untuk berhujjah. Berikut ini pendapat yang ada yaitu:
Pendapat Pertama Melarang secara
mutlak meriwayatkan segala macam hadits dhoif, baik untuk menetapkan hukum,
maupun untuk memberi sugesti amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu
Bakar Ibnul 'Araby.
Pendapat Kedua Membolehkan, kendatipun dengan melepas sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadla'ilul a'mal dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-hukum syariat, seperti halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah).
Pendapat Kedua Membolehkan, kendatipun dengan melepas sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal (fadla'ilul a'mal dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-hukum syariat, seperti halal dan haram, dan bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah).
Para imam seperti Ahmad bin hambal, Abdullah bin
al Mubarak berkata: "Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram
dan hukum-hukum, kami perkeras sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi
bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa kami permudah dan
kami perlunak rawi-rawinya."
Karena itu, Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits yang membolehkan berhujjah dengan hadits dhoif untuk fadla'ilul amal. Ia memberikan 3 syarat dalam hal meriwayatkan hadits dhoif, yaitu:
Karena itu, Ibnu Hajar Al Asqalany termasuk ahli hadits yang membolehkan berhujjah dengan hadits dhoif untuk fadla'ilul amal. Ia memberikan 3 syarat dalam hal meriwayatkan hadits dhoif, yaitu:
-
Hadits dhoif itu tidak keterlaluan. Oleh karena itu, untuk hadits-hadits dhoif yang disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah, tidak dapat dibuat hujjah kendatipun untuk fadla'ilul amal.
-
Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dhoif tersebut, masih dibawah satu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan)
-
Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan atau menekankan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada nabi, tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.
Klasifikasi hadits dari segi sedikit atau banyaknya rawi :
[1] Hadits Mutawatir: adalah suatu hadits hasil tanggapan dari panca indra, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.
Syarat syarat hadits mutawatir
-
Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar benar hasil pendengaran atau penglihatan mereka sendiri.
-
Jumlah rawi-rawinya harus mencapai satu ketentuan yang tidak memungkinkan mereka bersepakat bohong/dusta.
-
Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Kalau suatu hadits diriwayatkan oleh 5 sahabat maka harus pula diriwayatkan oleh 5 tabi'in demikian seterusnya, bila tidak maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.
[2] Hadits Ahad: adalah hadits yang tidak memenuhi syarat syarat hadits
mutawatir.
Klasifikasi hadits Ahad
Klasifikasi hadits Ahad
-
Hadits Masyhur: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang rawi atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.
-
Hadits Aziz: adalah hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang rawi, walaupun 2 orang rawi tersebut pada satu thabaqah (lapisan) saja, kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
-
Hadits Gharib: adalah hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Hadits Qudsi atau Hadits Rabbani atau Hadits Ilahi
Adalah sesuatu yang dikabarkan oleh Allah kepada nabiNya dengan melalui ilham atau impian, yang kemudian nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.
Perbedaan Hadits Qudsi dengan hadits Nabawi
Pada hadits qudsi biasanya diberi ciri ciri dengan dibubuhi kalimat-kalimat :
-
Qala ( yaqalu ) Allahu
-
Fima yarwihi 'anillahi Tabaraka wa Ta'ala
-
Lafadz lafadz lain yang semakna dengan apa yang tersebut diatas.
Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur'an:
-
Semua lafadz-lafadz Al-Qur'an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang hadits qudsi tidak demikian.
-
Ketentuan hukum yang berlaku bagi Al-Qur'an, tidak berlaku pada hadits qudsi. Seperti larangan menyentuh, membaca pada orang yang berhadats, dll.
-
Setiap huruf yang dibaca dari Al-Qur'an memberikan hak pahala kepada pembacanya.
-
Meriwayatkan Al-Qur'an tidak boleh dengan maknanya saja atau mengganti lafadz sinonimnya, sedang hadits qudsi tidak demikian.
Bid'ah
Yang dimaksud dengan bid'ah ialah sesuatu bentuk ibadah yang dikategorikan dalam menyembah Allah yang Allah sendiri tidak memerintahkannya, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menyontohkannya, serta para sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menyontohkannya.
Kewajiban sebagai seorang muslim adalah mengingatkan amar ma'ruf nahi munkar kepada saudara-saudara seiman yang masih sering mengamalkan amalan-amalan ataupun cara-cara bid'ah.
Alloh berfirman, dalam QS Al-Maidah ayat 3, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu." Jadi tidak ada satu halpun yang luput dari penyampaian risalah oleh Nabi. Sehingga jika terdapat hal-hal baru yang berhubungan dengan ibadah, maka itu adalah bid'ah.
"Kulu bid'ah dholalah..." semua bid'ah adalah sesat (dalam masalah ibadah). "Wa dholalatin fin Naar..." dan setiap kesesatan itu adanya dalam neraka.
Beberapa hal seperti speaker, naik pesawat, naik mobil, pakai pasta gigi, tidak dapat dikategorikan sebagai bid'ah. Semua hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk ibadah yang menyembah Allah. Ada tata cara dalam beribadah yang wajib dipenuhi, misalnya dalam hal sembahyang ada ruku, sujud, pembacaan al-Fatihah, tahiyat, dst. Ini semua adalah wajib dan siapa pun yang menciptakan cara baru dalam sembahyang, maka itu adalah bid'ah. Ada tata cara dalam ibadah yang dapat kita ambil hikmahnya. Seperti pada zaman Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menggunakan siwak, maka sekarang menggunakan sikat gigi dan pasta gigi, terkecuali beberapa muslim di Arab, India, dst.
Menemukan hal baru dalam ilmu pengetahuan bukanlah bid'ah, bahkan dapat menjadi ladang amal bagi umat muslim. Banyak muncul hadits-hadits yang bermuara (matannya) kepada hal bid'ah. Dan ini sangat sulit sekali untuk diingatkan kepada para pengamal bid'ah.
Apakah yang menyebabkan timbulnya Hadits-Hadits Palsu?
Didalam Kitab Khulaashah Ilmil Hadits dijelaskan
bahwa kabar yang datang pada Hadits ada tiga macam:
-
Yang wajib dibenarkan (diterima).
-
Yang wajib ditolak (didustakan, tidak boleh diterima) yaitu Hadits yang diadakan orang mengatasnamakan Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
-
Yang wajib ditangguhkan (tidak boleh diamalkan) dulu sampai jelas penelitian tentang kebenarannya, karena ada dua kemungkinan. Boleh jadi itu adalah ucapan Nabi dan boleh jadi pula itu bukan ucapan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (dipalsukan atas nama Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).
Untuk mengetahui
apakah Hadits itu palsu atau tidak, ada beberapa cara,
diantaranya:
-
Atas pengakuan orang yang memalsukannya. Misalnya Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam Kitab Taarikhut Ausath dari 'Umar bin Shub-bin bin 'Imran At-Tamiimy sesungguhnya dia pernah berkata, artinya: Aku pernah palsukan khutbah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Maisaroh bin Abdir Rabbik Al-Farisy pernah mengakui bahwa dia sendiri telah memalsukan Hadits hadits yang berhubung-an dengan Fadhilah Qur'an (Keutamaan Al-Qur'an) lebih dari 70 hadits, yang sekarang banyak diamalkan oleh ahli-ahli Bid'ah. Menurut pengakuan Abu 'Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa dia pernah memalsukan dari Ibnu Abbas beberapa Hadits yang hubungannya dengan Fadhilah Qur'an satu Surah demi Surah. (Kitab Al-Baa'itsul Hatsiits).
-
Dengan memperhatikan dan mempelajari tanda-tanda/qorinah yang lain yang dapat menunjukkan bahwa Hadits itu adalah Palsu. Misalnya dengan melihat dan memperhatikan keadaan dan sifat perawi yang meriwayatkan Hadits itu.
-
Terdapat ketidaksesuaian makna dari matan (isi cerita) hadits tersebut dengan Al-Qur'an. Hadits tidak pernah bertentangan dengan apa yang ada dalam ayat-ayat Qur'an.
-
Terdapat kekacauan atau terasa berat didalam susunannya, baik lafadznya ataupun ditinjau dari susunan bahasa dan Nahwunya (grammarnya).
Sebab-sebab terjadi atas timbulnya
Hadits-hadits Palsu
-
Adanya kesengajaan dari pihak lain untuk merusak ajaran Islam. Misalnya dari kaum Orientalis Barat yang sengaja mempelajari Islam untuk tujuan menghancurkan Islam (seperti Snouck Hurgronje).
-
Untuk menguatkan pendirian atau madzhab suatu golongan tertentu. Umumnya dari golongan Syi'ah, golongan Tareqat, golongan Sufi, para Ahli Bid'ah, orang-orang Zindiq, orang yang menamakan diri mereka Zuhud, golongan Karaamiyah, para Ahli Cerita, dan lain-lain. Semua yang tersebut ini membolehkan untuk meriwayatkan atau mengadakan Hadits-hadits Palsu yang ada hubungannya dengan semua amalan-amalan yang mereka kerjakan. Yang disebut 'Targhiib' atau sebagai suatu ancaman yang yang terkenal dengan nama 'At-Tarhiib'.
-
Untuk mendekatkan diri kepada Sultan, Raja, Penguasa, Presiden, dan lain-lainnya dengan tujuan mencari kedudukan.
-
Untuk mencari penghidupan dunia (menjadi mata pencaharian dengan menjual hadits-hadits Palsu).
-
Untuk menarik perhatian orang sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ahli dongeng dan tukang cerita, juru khutbah, dan lain-lainnya.
Hukum meriwayatkan Hadits-hadits Palsu
-
Secara Muthlaq, meriwayatkan hadits-hadits palsu itu hukumnya haram bagi mereka yang sudah jelas mengetahui bahwa hadits itu palsu.
-
Bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberi tahu kepada orang bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan kepada mereka sesudah meriwayatkan atau mebacakannya) maka tidak ada dosa atasnya.
-
Mereka yang tidak tahu sama sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka mengamalkan makna hadits tersebut karena tidak tahu, maka tidak ada dosa atasnya. Akan tetapi sesudah mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadits yang dia ceritakan atau amalkan itu adalah hadits palsu, maka hendaklah segera dia tinggalkannya, kalau tetap dia amalkan sedang dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali, maka hukumnya tidak boleh (berdosa - dari Kitab Minhatul Mughiits).
(Sumber Rujukan: Kitab Hadits Dhaif dan Maudhlu -
Muhammad Nashruddin Al-Albany; Kitab Hadits Maudhlu - Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah;
Kitab Mengenal Hadits Maudhlu - Muhammad bin Ali Asy-Syaukaaniy; Kitab
Kalimat-kalimat Thoyiib - Ibnu Taimiyah (tahqiq oleh Muhammad Nashruddin
Al-Albany); Kitab Mushtholahul Hadits - A. Hassan)
Langganan:
Postingan (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
About Me
- rahmad nur wakhid
- baron, Nganjuk/jawa timur, Indonesia
- blogger ini dibuat untuk meningkatkan Dzikir Fikir Amal Shaleh