KONSEP DASAR PENDIDIKAN MENURUT AL-GHAZALI & AL-SHAFA
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM”
Dosen Pembimbing:
Moh.Zuhal Ma’ruf M.Pd.I
Disusun Oleh:
Rahmad
Nur Wahid
Siti
Munawaroh
SEMESTER 4B, FAKULTAS TARBIYAH,
PRODI PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM “MIFTAHUL ‘ULA”
NGLAWAK KERTOSONO
NGANJUK
MARET, 2012
KONSEP DASAR PENDIDIKAN MENURUT AL-GHAZALI DAN AL-SHAFA
1.PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang
sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam,
khususnya dari para filosof Muslim, seperti Al-Ghazali, dan , Ikhwan al-Shafa,
dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang
didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai
perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia. Al-Ghazali dan Ikhwan
Al-Shafa lebih menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan.
Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh
persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang
iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya
seperti mencintai dirinya sendiri.
Dalam makalah ini akan sedikit menyibak tentang riwayat hidup Al-Ghazali
dan Ikhwan Al-Shafa, serta menguraikan konsep dasar pendidikan menurut
Al-Ghazali dan Al-Shafa sebagai seorang tokoh kita mencoba mencari jejak-jejak
pemikiran Al-Ghazali dan Ikhwan Al-Shafa yang tertinggal untuk dicari hikmah
dan pelajaran.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana riwayat hidup Al-Ghazali ?
1.2.2
Bagaimana riwayat hidup Ikhwan Al-Shafa ?
1.2.3
Bagaimana konsep dasar pendidikan menurut Al-Ghazali ?
1.2.4 Bagaimana konsep
dasar pendidikan menurut IKhwan Al-Shafa ?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk memahami riwayat hidup Al-Ghazali
1.3.2
Untuk memahami riwayat hidup Ikhwan Al-Shafa
1.3.3 Untuk mengerti
konsep dasar pendidikan menurut Al-Ghazali
1.3.4
Untuk mengerti konsep dasar pendidikan menurut Ikhwan Al-Shafa
KONSEP DASAR PENDIDIKAN MENURUT AL-GHAZALI DAN AL-SHAFA
2.1 Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-ghazali dilahirkan di Thus, sebuah Kota di
khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya seorang pemintal wool.
Al-ghazali mempunyai seorang saudara, ketika akan meninggal, ayahnya berpesan
kepada sahabat setianya agar keduanya putranya diasuh dan disempurnakan
pendidikan keduanya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali,
kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta pusaka peninggalan ayah
mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya.
Imam Al-Ghazali sejak
kecil dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan penggandrung
mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa
nestapa dan sengsara. Di masa kanak-kanak imam al-Ghazali belajar kepada Ahmad
bin Muhammad Ar-Raziqani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nasr Al-Ismaili di
Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi.
Setelah itu Imam Ghazali
pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya,
yaitu Al-Juwaini, Imam Haramain, dari beliau ini al-Ghazali belajar ilmu kalam,
ilmu ushul, dan ilmu agama lainnya. Imam Al-Ghazali memang orang yang cerdas
dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang
jernih , sehingga Imam Juwini memberi predikat sebagai orang yang memiliki ilmu
yang sangat luas bagaikan “Laut dalam nan menenggelamkan”
Keikutsertaan Al-Ghazali
dalam suatu diskusi bersama sekelompok ulama dan intelektual di hadapan Nidzam
Al-Mulk membawa kemenangan baginya, Nidzam Al-mulk berjanji akan mengangkatnya
sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad pada tahun 484
atau 1091 M. setelah empat tahun beliau memutuskan untuk berhenti mengajar dan
meninggalka Baghdad, setelah itu beliau ke Syam, hidup dalam Jami’Umawy dengan
kehidupan penuh ibadah, dilanjutkan ke padang pasir untuk untuk meninggalkan
kemewahan hidup dan mendalami agama.
Kemudian sewaktu-waktu
beliau kembali ke Baghdad untuk kembali mengajar di sana, kitab pertama yang
dikarangnya adalah Al-Munqidz min al-Dholal. Sekembalinya ke Baghdad sekitar
sepuluh tahun, beliau ke Nisabur dan sibuk mengajar di sana dalam waktu yang
tidak lama, setelah itu beliau meninggal di Thus, kota kelahiranyya pada tahun
505 H atau 1111 M.
2.2 Riwayat Hidup
Al-Shafa
Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan Al-Shafa (اخوان الصفا)
berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak-yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah di sekitar abad ke-10 Masehi. Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal
dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat
mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan
al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah nama yang diusulkan
untuk mereka sandang sebagaimana termaktub dalam bab ”Merpati Berkalung”
dan Kalilah wa Dimnah, sebuah buku yang sangat mereka hormati.
Ikhwan al-Shafa berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu
Hayyan al-Tauhidi menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima orang dari kelompok
Ikhwan al-Shafa seperti, Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Busti, yang
dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad
Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah yang terkenal itu.
Karya monumental Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan
al-Shafa.Rasail Ikhwan Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa didirikan pada abad
ke 4 H yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi
mereka merahasiakan identitasnya. Rasail ini terdiri 51
risalah (Epistle) yang dilengkapi dengan ikhtisar di bagian akhirnya.
Diduga kuat, ikhtisar ini digarap oleh Al-Majriti (w.1008). Konon, Al-Majriti
pula yang pertama-tama membawa ajaran Ikhwan al-Shafa di daratan Spanyol.
Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi empat kelompok:
Kelompok pertama, berisi empat belas risalah ”matematis” tentang angka. Oleh kalangan Ikhwan
al-Shafa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat ”sebab ilmu angka
akar semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur pembentuk
makna. Risalah dalam kelompok ini memuat bagian (1) pendahuluan, disusul dengan
(2) geometri, (3) astronomi, (4) musik, (5) geografi, (6) ”proporsi-proporsi
harmonik”, (7 dan 8) tentang seni-seni teoritis dan praktis, dan (9) etika.
Kelompok kedua, terdiri atas tujuh belas
risalah yang membahas ”persoalan fisik-materiil”. Secara kasar, semua risalah
tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles. Sedikit tambahan
ihwal psikologi, epistemologi, dan linguistik yang tidak terdapat dalam korpus
Aristotelian, juga masuk dalam kelompok ini.
Kelompok ketiga, terdiri atas sepuluh
risalah ”psikologis-rasional” yang membahas prinsip-prinsip intelektual,
intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan(intelligibles),
hakikat cinta erotik (’isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok keempat, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara mengenal Tuhan, akidah
dan pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian,
tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir
hakikat teluh, azimat, dan aji-aji.
Dari isi ensiklopedi tersebut kita dapat menafsirkan bahwa Ikhwan al-Shafa
mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu
pengetahuan (filsafat dan sains). Sedangkan karya yang erat hubungannya
dengan Rasail adalah al-Risalat al-Jami’ah (Risalah
Komprehensif) yang merupakan sebuah summarium (Ikhtisar,
Ringkasan) dan summa dari karya aslinya. Selanjutnya, Jami’ah pun
diikhtisarkan dalam Risalat al-Jami’ah al-Jami’ah au al-Zubdah min
Rasail Ikhwan al-Shafa (Kondensasi dari Risalah Komprehensip atau Krim
dari Rasail Ikhwan al-Shafa), yang juga dinamai al-Risalat
al-Jami’ah.
2.3 Konsep Dasar
Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Untuk mengetahui konsep
pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya yang
berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: tujuan
pendidikan, kurikulum pendidikan, metode pengajaran, etika guru, etika murid,
dan ganjaran atau hukuman.
1.
Tujuan Pendidikan
Seorang guru baru dapat
merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar filsafat yang
mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru
dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui
dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melaliu pendidikan ada dua,yakni:pertama:
tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT,kedua: kesempurnaan insani
yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, beliau
bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan
tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius
dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.
Akan tetapi, disamping
bercorak agamis yang merupakan cirri spesifik pendidikan islam, tampak pula
cenderung pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan dengan filsafat
Al-ghazali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran pendidikan adalah kesempurnaan
insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat ini hanya dengan
menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu. Keutamaan itulsh yang akan
membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada Allah SWT sehingga bahagia di
ahkirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi beliautermasuk tujuan
pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta kenikmatan yang diperoleh
manusia padanya.
2.
Kurikulum Pendidikan
Al-Ghazali membagi ilmu
pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
• Ilmu yang tercela, sedikit atau banyak. Ilmu tidak ada manfaatnya baik
di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan.
Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun
orang lain, dan akan meragukan Allah SWT.
• Ilmu yang terpuji, sedikit atau banyak, misalnya ilmu tauhid, dan ilmu
agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepadajiwa yang suci bersih
dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
• Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, dan tidak boleh didalami, karma
dapat membawa kepada goncangan iman, seperti ilmu filsafat.
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua
bagian dilihatdari kepentingannya, yaitu:
• Ilmu yang fardhu (wajib) untuk diketahui oleh semua orang muslim, yaitu
ilmu agama.
• Ilmu yang merupakan fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim, ilmu dimanfaatkan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti : ilmu hitung, kedokteran, teknik, dan ilmu pertanian dan industri.
• Ilmu yang merupakan fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim, ilmu dimanfaatkan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti : ilmu hitung, kedokteran, teknik, dan ilmu pertanian dan industri.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus
pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu
yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Kurikilum menurut Al-Ghazali
didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
• Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-ghazali
menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangya sebagai alat
untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.
• Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya.
Al-ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan
manfaatnyabagi manusia, baik kehidupan di dunia, maupun untuk kehidupan
akhirat, ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan
ilmu tang tak bernilai. Bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi
dan kegunaannya dalam bentuk amaliyah.
3.
Metode Pengajaran
Perhatian Al-Ghazali
akan pendidikan agama dan moral sejalan dengan kecenderungan pendidikannya
secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat
yang harus dimilikioleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru, juga dikaitkan
dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar adalah
pekerjaan yang paling mulia sekaligus yang paling agung .pendapatnya ini, ia
kuatkan dengan beberapa ayat Al-quran dan hadits Nabi yang mengatakan status
guru sejajar dengan tugas kenabian. Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa
wujud termulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian inti manusia yang
termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, dan mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
Bahkan, kaum muslimin
pada zaman dahulu amat mementingkan menuntut ilmu yang langsung diterima dari
mulut seorang guru. Mereka tidak suka menuntut ilmu dati buku-buku dan
kitab-kitab saja, sebagian mereka berkata “ Diantara malapetaka yang besar
yaitu berguru pada buku, maksudnya belajar dengan membaca buku tanpa guru”,
dalam sebuah kitab dikatakan “Barang siapa yang tiada berguru, maka syetanlah
imammya”.
Dalam masalah
pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berfaham empirisme, oleh karena itu,
beliau sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Anak adalah
amanat yang dipercayakan kepada orang tuanya, hatinya bersih, murni, laksana
permata yang berharga, sederhana, dan bersih dari ukiran apapun. Ia dapat
menerima tiap ukiran yang digoreskan kepadanya dan akan denderung ke arah yang
kita kehendaki. Oleh karna itu, bila ia dibiasakan dengan sifat-sifat yang
baik, maka akan berkembanglah sifat-sifat yang baik pula. Sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW :“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orang
tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, dan
Majusi.”( HR. Muslim)
4.
Kriteria Guru Yang Baik Menurut Al-Ghazali
Bahwa guru yang dapat
diserahi tugas mengajar adalah selain guru yang cerdas dan sempurna akalnya,
juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaanakal ia
dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya
guru dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat
fisiknya guru dapat melaksanakan tugasnya mengajar, mendidik dan mengarahkan
anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum
di atas, seorang guru juga memiliki sifat-sifat khusus sebagai berikut:
• Mencintai murid seperti mencintai anaknya sendiri.
• Jangan mengharapkan materi sebagai tujuan utama karena mengajar adalah
tugas yang diwariskan Rasulullah SAW.
• Mengingatkan murid bahwa tujuan menuntut ilmu adalah mendekatkan diri
kepada Allah SWT.
• Guru harus mendorong muridnyauntuk mencari ilmu yang bermanfaat.
• Guru harus memberikan tauladan yang baik di mata muridnya sehingga murid
senang mencontoh tingkah lakunya.
• Guru harus mengajarkan pelajaran sesuaitingkat kemampuan akal anak
didik.
• Guru harus mengamalkan ilmunya.
• Guru harus bias mengetahui jiwa anak didiknya.
• Guru dapat mendidik keimanan ke dalampribadi anak didiknya.
5.
Sifat Murid Yang Baik
Sejalan dengan tujuan
pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka belajar
termasuk ibadah. Dengandasar pemikiran ini, maka seorang murid yang baik
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Seorang murid harus memulyakan guru dan bersikap rendah hati
• Harus saling menyayangi dan tolong-menolong sesama teman
• Mempelajari bermacam-macam ilmu dari tiap-tiap ilmu tersebut
• Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari perbuatan hina dan
tercela
• Seorang murid hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib
• Seorang murid hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap
• Seorang murid hendaknya mengetahui nilai setiap ilmu yang dipelajarinya.
6.
Ganjaran dan Hukuman
Selanjutnya Al-Ghazali
berkata:Apabila anak-anak itu berkelakuan baik dan melakukan pekerjaan yang
bagus, hormatilah ia dan hendaknya diberi penghargaan dengan sesuatu yang
menggembirakannya, serta dipuji di hadapan orang banyak. Jika ia melakukan
kesalahan satu kali, hendaknya pendidikmembiarkan dan jangan dibuka rahasianya.
Jika anak itu mengulanginya lagi, hendaknya pendidik memarahinya dengan
tersembunyi, bukan dinasehati di depan orang banyak, dan janganlah pendidik
seringkali memarahi anak-anak itu, karena hal itu dapat menghilangkan pengaruh
pada diri anak, sebab sudah terbiasa telinganya mendengarkan amarah itu.
Metode pemberian hadiah
dan hukuman untuk tujuan mendidik dipandang sebagai metode yang aman. Terlalu
banyak melarang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Demikian pula
terlalu banyak memberikan pujian tidak menjadi penyebab terjadinya perbaikan.
Dalam berbagai kesempatan Al-Gazali menerangkan bahwa membesarkan anak dengan
kemanjaan, bersenang-senang dan bermalas-malasan serta meremehkan pergaulan
bersama orang lain termasuk perkara yang tidak baik karena membesarkan anak
dengan cara seperti ini akan merusak akhlaknya .
2.4 Konsep Dasar
Pendidikan Menurut Al-Shafa
a. Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan
umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1) Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan
tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui
hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu
oleh indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin Ikhwan
al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara
langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam
dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah,
sumber ilmu paling akhir. Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa
mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada
sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang
yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum
ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut
telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan. Pandangan ini lebih
dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme). Aliran ini menilai bahwa
awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata.
Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat
pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak
memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan
Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses
pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada
jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya,
jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai
menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini
melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah
al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam
re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya
sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap
direproduksi.
Pandangan Ikhwan di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan
Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar
untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya
modal ”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong). Modal itulah yang
nantinya akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun
lingkungan cyber universe yang diciptakan oleh kemajuan
teknologi informasi (internet).
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah),
bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera.
Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta
tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato
memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang
dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato
mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui
segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu
terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu
ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba
meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan
jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu
agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah).
Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja
sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan
filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu
pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu; matematika,
fisika, danmetafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada
pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik
mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis
pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi.
Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu,
akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak
mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan
inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
b. Sosok Ideal Guru
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka
itu adalahmu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab
alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal,
dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru
dari segala sesuatu.
Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal
ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai
berikut:
1). Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang
memiliki syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia
kira-kira 25 tahun.
2). Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang
memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara
persaudaraan dan bersikap dermawan.
3). Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang
memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
4). Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya
masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran
yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-ghazali dilahirkan di Thus, sebuah Kota di
khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya seorang pemintal wool.
Imam Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan
dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita,
dilanda aneka rupa nestapa dan sengsara. Di masa kanak-kanak imam al-Ghazali
belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Raziqani di Thus kemudian belajar kepada
Abi Nasr Al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi.
3.1.2 Riwayat Hidup
Al-Shafa
Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan Al-Shafa (اخوان الصفا)
berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak-yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah di sekitar abad ke-10 Masehi. Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal
dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat
mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan
al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah nama yang diusulkan
untuk mereka sandang sebagaimana termaktub dalam bab ”Merpati Berkalung”
dan Kalilah wa Dimnah, sebuah buku yang sangat mereka hormati.
Ikhwan al-Shafa berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu
Hayyan al-Tauhidi menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima orang dari kelompok
Ikhwan al-Shafa seperti, Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Busti, yang
dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad
Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah yang terkenal itu.
3.1.3 Konsep Dasar Pendidikan Menurut
Al-Ghazali
Untuk mengetahui konsep
pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya yang
berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: tujuan
pendidikan, kurikulum pendidikan, metode pengajaran, etika guru, etika murid,
dan ganjaran atau hukuman.
3.1.4 Konsep
Dasar Pendidikan Menurut Al-Shafa
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan
umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1) Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan
tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita
ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu
oleh indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin Ikhwan
al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara
langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam
dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah,
sumber ilmu paling akhir. Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa
mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada
sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka
itu adalahmu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab
alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal,
dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru
dari segala sesuatu.
Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal
ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai
berikut:
1). Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang
memiliki syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia
kira-kira 25 tahun.
2). Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang
memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara
persaudaraan dan bersikap dermawan.
3). Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang
memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
4). Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya
masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran
yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Langgulung,
Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka
al-Husna, 1985), hal. 215
Nata,
Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997).
Nizar,
Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis,(Jakarta: Ciputat Pers, 2002)
Qadir,
C.A, Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Hasan Basari, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1991)
www.wikipedia.org.