Jumat, 06 April 2012

KONSEP DASAR PENDIDIKAN MENURUT AL-GHAZALI & AL-SHAFA

KONSEP DASAR PENDIDIKAN MENURUT AL-GHAZALI & AL-SHAFA
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM”
Dosen Pembimbing:
Moh.Zuhal Ma’ruf M.Pd.I
Disusun Oleh:
Rahmad Nur Wahid
Siti Munawaroh


Description: D:\Gambar\LOGO\STAIM sip.JPG


SEMESTER 4B, FAKULTAS TARBIYAH, PRODI PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM “MIFTAHUL ‘ULA”
NGLAWAK KERTOSONO NGANJUK
MARET, 2012



KONSEP DASAR PENDIDIKAN MENURUT AL-GHAZALI DAN AL-SHAFA
1.PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Dalam kajian filsafat pendidikan Islam, ada beberapa tokoh muslim yang sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, khususnya dari para filosof Muslim, seperti Al-Ghazali, dan , Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya. Ikhwan al-Shafa adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia. Al-Ghazali dan Ikhwan Al-Shafa lebih menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.
Dalam makalah ini akan sedikit menyibak tentang riwayat hidup Al-Ghazali dan Ikhwan Al-Shafa, serta menguraikan konsep dasar pendidikan menurut Al-Ghazali dan Al-Shafa sebagai seorang tokoh kita mencoba mencari jejak-jejak pemikiran Al-Ghazali dan Ikhwan Al-Shafa yang tertinggal untuk dicari hikmah dan pelajaran.
1.2 Rumusan Masalah
            1.2.1 Bagaimana riwayat hidup Al-Ghazali ?
            1.2.2 Bagaimana riwayat hidup Ikhwan Al-Shafa ?
            1.2.3 Bagaimana konsep dasar pendidikan menurut Al-Ghazali ?
            1.2.4 Bagaimana konsep dasar pendidikan menurut IKhwan Al-Shafa ?
1.3 Tujuan
            1.3.1 Untuk memahami riwayat hidup Al-Ghazali
            1.3.2 Untuk memahami riwayat hidup Ikhwan Al-Shafa
            1.3.3 Untuk mengerti konsep dasar pendidikan menurut Al-Ghazali
            1.3.4 Untuk mengerti konsep dasar pendidikan menurut Ikhwan Al-Shafa





KONSEP DASAR PENDIDIKAN MENURUT AL-GHAZALI DAN AL-SHAFA
2.1 Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-ghazali dilahirkan di Thus, sebuah Kota di khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya seorang pemintal wool. Al-ghazali mempunyai seorang saudara, ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar keduanya putranya diasuh dan disempurnakan pendidikan keduanya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali, kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya.
Imam Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan sengsara. Di masa kanak-kanak imam al-Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Raziqani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nasr Al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi.
Setelah itu Imam Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juwaini, Imam Haramain, dari beliau ini al-Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, dan ilmu agama lainnya. Imam Al-Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih , sehingga Imam Juwini memberi predikat sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan “Laut dalam nan menenggelamkan”
Keikutsertaan Al-Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok ulama dan intelektual di hadapan Nidzam Al-Mulk membawa kemenangan baginya, Nidzam Al-mulk berjanji akan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad pada tahun 484 atau 1091 M. setelah empat tahun beliau memutuskan untuk berhenti mengajar dan meninggalka Baghdad, setelah itu beliau ke Syam, hidup dalam Jami’Umawy dengan kehidupan penuh ibadah, dilanjutkan ke padang pasir untuk untuk meninggalkan kemewahan hidup dan mendalami agama.
Kemudian sewaktu-waktu beliau kembali ke Baghdad untuk kembali mengajar di sana, kitab pertama yang dikarangnya adalah Al-Munqidz min al-Dholal. Sekembalinya ke Baghdad sekitar sepuluh tahun, beliau ke Nisabur dan sibuk mengajar di sana dalam waktu yang tidak lama, setelah itu beliau meninggal di Thus, kota kelahiranyya pada tahun 505 H atau 1111 M.

2.2 Riwayat Hidup Al-Shafa

Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan Al-Shafa (اخوان الصفا) berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak-yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah di sekitar abad ke-10 Masehi. Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah nama yang diusulkan untuk mereka sandang sebagaimana termaktub dalam bab ”Merpati Berkalung” dan Kalilah wa Dimnah, sebuah buku yang sangat mereka hormati. Ikhwan al-Shafa berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu Hayyan al-Tauhidi menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima orang dari kelompok Ikhwan al-Shafa seperti, Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah yang terkenal itu.
Karya monumental Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan al-Shafa.Rasail Ikhwan Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa didirikan pada abad ke 4 H yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya. Rasail ini terdiri 51 risalah (Epistle) yang dilengkapi dengan ikhtisar di bagian akhirnya. Diduga kuat, ikhtisar ini digarap oleh Al-Majriti (w.1008). Konon, Al-Majriti pula yang pertama-tama membawa ajaran Ikhwan al-Shafa di daratan Spanyol. Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi empat kelompok:
Kelompok pertama, berisi empat belas risalah ”matematis” tentang angka. Oleh kalangan Ikhwan al-Shafa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat ”sebab ilmu angka akar semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur pembentuk makna. Risalah dalam kelompok ini memuat bagian (1) pendahuluan, disusul dengan (2) geometri, (3) astronomi, (4) musik, (5) geografi, (6) ”proporsi-proporsi harmonik”, (7 dan 8) tentang seni-seni teoritis dan praktis, dan (9) etika.
Kelompok kedua, terdiri atas tujuh belas risalah yang membahas ”persoalan fisik-materiil”. Secara kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles. Sedikit tambahan ihwal psikologi, epistemologi, dan linguistik yang tidak terdapat dalam korpus Aristotelian, juga masuk dalam kelompok ini.
Kelompok ketiga, terdiri atas sepuluh risalah ”psikologis-rasional” yang membahas prinsip-prinsip intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan(intelligibles), hakikat cinta erotik (’isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok keempat, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara mengenal Tuhan, akidah dan pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian, tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir hakikat teluh, azimat, dan aji-aji.
Dari isi ensiklopedi tersebut kita dapat menafsirkan bahwa Ikhwan al-Shafa mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan (filsafat dan sains). Sedangkan karya yang erat hubungannya dengan Rasail adalah al-Risalat al-Jami’ah (Risalah Komprehensif) yang merupakan sebuah summarium (Ikhtisar, Ringkasan) dan summa dari karya aslinya. Selanjutnya, Jami’ah pun diikhtisarkan dalam Risalat al-Jami’ah al-Jami’ah au al-Zubdah min Rasail Ikhwan al-Shafa (Kondensasi dari Risalah Komprehensip atau Krim dari Rasail Ikhwan al-Shafa), yang juga dinamai al-Risalat al-Jami’ah.
2.3 Konsep Dasar Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode pengajaran, etika guru, etika murid, dan ganjaran atau hukuman.


1.      Tujuan Pendidikan
Seorang guru baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melaliu pendidikan ada dua,yakni:pertama: tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada  Allah SWT,kedua: kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, beliau bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.
Akan tetapi, disamping bercorak agamis yang merupakan cirri spesifik pendidikan islam, tampak pula cenderung pada sisi keruhanian. Kecenderungan tersebut sejalan dengan filsafat Al-ghazali yang bercorak tasawuf. Maka sasaran pendidikan adalah kesempurnaan insani dunia dan akhirat. Manusia akan sampai pada tingkat ini hanya dengan menguasai sifat keutamaam melalui jalur ilmu. Keutamaan itulsh yang akan membuat bahagia di dunia dan mendekatkan kepada Allah SWT sehingga bahagia di ahkirat kelak. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi beliautermasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta kenikmatan yang diperoleh manusia padanya.

2.      Kurikulum Pendidikan
Al-Ghazali membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
• Ilmu yang tercela, sedikit atau banyak. Ilmu tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudharat bagi yang memilikinya maupun orang lain, dan akan meragukan Allah SWT.
• Ilmu yang terpuji, sedikit atau banyak, misalnya ilmu tauhid, dan ilmu agama. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa orang kepadajiwa yang suci bersih dari kerendahan dan keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT.
• Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, dan tidak boleh didalami, karma dapat membawa kepada goncangan iman, seperti ilmu filsafat.

Dari ketiga kelompok ilmu tersebut, Al-Ghazali membagi lagi menjadi dua bagian dilihatdari kepentingannya, yaitu:
• Ilmu yang fardhu (wajib) untuk diketahui oleh semua orang muslim, yaitu ilmu agama.
• Ilmu yang merupakan fardhu kifayah untuk dipelajari setiap muslim, ilmu dimanfaatkan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti : ilmu hitung, kedokteran, teknik, dan ilmu pertanian dan industri.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Kurikilum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut:
• Kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangya sebagai alat untuk menyucikan diri dan membersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia.
• Kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-ghazali beberapa kali mengulangi penilaian terhadap ilmu berdasarkan manfaatnyabagi manusia, baik kehidupan di dunia, maupun untuk kehidupan akhirat, ia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu tang tak bernilai. Bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliyah.

3.      Metode Pengajaran
Perhatian Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral sejalan dengan kecenderungan pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimilikioleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru, juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia sekaligus yang paling agung .pendapatnya ini, ia kuatkan dengan beberapa ayat Al-quran dan hadits Nabi yang mengatakan status guru sejajar dengan tugas kenabian. Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud termulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bahkan, kaum muslimin pada zaman dahulu amat mementingkan menuntut ilmu yang langsung diterima dari mulut seorang guru. Mereka tidak suka menuntut ilmu dati buku-buku dan kitab-kitab saja, sebagian mereka berkata “ Diantara malapetaka yang besar yaitu berguru pada buku, maksudnya belajar dengan membaca buku tanpa guru”, dalam sebuah kitab dikatakan “Barang siapa yang tiada berguru, maka syetanlah imammya”.
Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berfaham empirisme, oleh karena itu, beliau sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Anak adalah amanat yang dipercayakan kepada orang tuanya, hatinya bersih, murni, laksana permata yang berharga, sederhana, dan bersih dari ukiran apapun. Ia dapat menerima tiap ukiran yang digoreskan kepadanya dan akan denderung ke arah yang kita kehendaki. Oleh karna itu, bila ia dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik, maka akan berkembanglah sifat-sifat yang baik pula. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, dan Majusi.”( HR. Muslim)

4.      Kriteria Guru Yang Baik Menurut Al-Ghazali
Bahwa guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah selain guru yang cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaanakal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya guru dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya guru dapat melaksanakan tugasnya mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.

Selain sifat-sifat umum di atas, seorang guru juga memiliki sifat-sifat khusus sebagai berikut:
• Mencintai murid seperti mencintai anaknya sendiri.
• Jangan mengharapkan materi sebagai tujuan utama karena mengajar adalah tugas yang diwariskan Rasulullah SAW.
• Mengingatkan murid bahwa tujuan menuntut ilmu adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT.
• Guru harus mendorong muridnyauntuk mencari ilmu yang bermanfaat.
• Guru harus memberikan tauladan yang baik di mata muridnya sehingga murid senang mencontoh tingkah lakunya.
• Guru harus mengajarkan pelajaran sesuaitingkat kemampuan akal anak didik.
• Guru harus mengamalkan ilmunya.
• Guru harus bias mengetahui jiwa anak didiknya.
• Guru dapat mendidik keimanan ke dalampribadi anak didiknya.
5.      Sifat Murid Yang Baik
Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka belajar termasuk ibadah. Dengandasar pemikiran ini, maka seorang murid yang baik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Seorang murid harus memulyakan guru dan bersikap rendah hati
• Harus saling menyayangi dan tolong-menolong sesama teman
• Mempelajari bermacam-macam ilmu dari tiap-tiap ilmu tersebut
• Seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari perbuatan hina dan tercela
• Seorang murid hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib
• Seorang murid hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap
• Seorang murid hendaknya mengetahui nilai setiap ilmu yang dipelajarinya.

6.      Ganjaran dan Hukuman
Selanjutnya Al-Ghazali berkata:Apabila anak-anak itu berkelakuan baik dan melakukan pekerjaan yang bagus, hormatilah ia dan hendaknya diberi penghargaan dengan sesuatu yang menggembirakannya, serta dipuji di hadapan orang banyak. Jika ia melakukan kesalahan satu kali, hendaknya pendidikmembiarkan dan jangan dibuka rahasianya. Jika anak itu mengulanginya lagi, hendaknya pendidik memarahinya dengan tersembunyi, bukan dinasehati di depan orang banyak, dan janganlah pendidik seringkali memarahi anak-anak itu, karena hal itu dapat menghilangkan pengaruh pada diri anak, sebab sudah terbiasa telinganya mendengarkan amarah itu.
Metode pemberian hadiah dan hukuman untuk tujuan mendidik dipandang sebagai metode yang aman. Terlalu banyak melarang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Demikian pula terlalu banyak memberikan pujian tidak menjadi penyebab terjadinya perbaikan. Dalam berbagai kesempatan Al-Gazali menerangkan bahwa membesarkan anak dengan kemanjaan, bersenang-senang dan bermalas-malasan serta meremehkan pergaulan bersama orang lain termasuk perkara yang tidak baik karena membesarkan anak dengan cara seperti ini akan merusak akhlaknya .


2.4 Konsep Dasar Pendidikan Menurut Al-Shafa

a.   Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1) Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir. Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan. Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme). Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Pandangan Ikhwan di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya modal ”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong). Modal itulah yang nantinya akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun lingkungan cyber universe yang diciptakan oleh kemajuan teknologi informasi (internet).
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu; matematika, fisika, danmetafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
b.   Sosok Ideal Guru
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalahmu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1). Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2). Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
3). Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
4). Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.









PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.1.1 Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-ghazali dilahirkan di Thus, sebuah Kota di khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. ayahnya seorang pemintal wool. Imam Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan sengsara. Di masa kanak-kanak imam al-Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Raziqani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nasr Al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi.

3.1.2 Riwayat Hidup Al-Shafa
Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan Al-Shafa (اخوان الصفا) berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak-yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah di sekitar abad ke-10 Masehi. Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah nama yang diusulkan untuk mereka sandang sebagaimana termaktub dalam bab ”Merpati Berkalung” dan Kalilah wa Dimnah, sebuah buku yang sangat mereka hormati. Ikhwan al-Shafa berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu Hayyan al-Tauhidi menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima orang dari kelompok Ikhwan al-Shafa seperti, Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah yang terkenal itu.
3.1.3 Konsep Dasar Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui dengan cara memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu: tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, metode pengajaran, etika guru, etika murid, dan ganjaran atau hukuman.

3.1.4 Konsep Dasar Pendidikan Menurut Al-Shafa
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1) Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir. Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalahmu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1). Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2). Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
3). Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
4). Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.





















DAFTAR PUSTAKA

Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985), hal. 215
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997).
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis,(Jakarta: Ciputat Pers, 2002)
Qadir, C.A, Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Hasan Basari, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991)
www.wikipedia.org.


0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto saya
baron, Nganjuk/jawa timur, Indonesia
blogger ini dibuat untuk meningkatkan Dzikir Fikir Amal Shaleh