Jumat, 02 November 2012

sospendis


PERAN SISTEM PENDIDIKAN DALAM REPROKDUKSI STRUKTURAL DAN KULTURAL PENDIDIKAN MEMBERIKAN KESEMPATAN UNTUK MENINGKATKAN MOBILITAS SOSIAL
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam
Dosen Pembina   : Drs. H. Athor Subroto, M. Si.


Disusun oleh :
Kelompok III
Sajian II
Mahfud Effendy
M. Ulil Abshor
Syukrul Abidin
Riza Maslamah
Binti Qoyyimah
Nurin Khoirun Nisa’
Semester V B

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM “MIFTAHUL ‘ULA”
(STAIM)
NGLAWAK-KERTOSONO-NGANJUK
SEPTEMBER 2012



BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
           Pendidikan islam mempunyai peran aktif dalam menciptakan generasi yang mampu berinteraksi sosial dengan baik, sebaliknya sosiologi memberikan informasi ke dalam dunia pendidikan tentang nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Secara umum masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat  penting dan tidak bisa dipisahkan dari seluruh rangkaian kehidupan manusia. Kebanyakan manusia memandang pendidikan sebagai sebuah kegiatan mulia yang akan mengarahkannya pada nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan merupakan suatu perbuatan, tindakan  dan praktek. Namun demikian pendidikan tidak dapat diartikan sebagai satu hal yang mudah, sederhana dan tidak memerlukan pemikiran, karena istilah pendidikan sebagai praktek, mengandung implikasi pemahaman akan arah dan tujuan.
Proses pendidikan bukan hanya sekedar lahiriah dan suatu perilaku kosong saja. Pendidikan diarahkan untuk mencapai maksud arah dan tujuan ke arah sikap, perilaku dan kemampuan serta pengetahuan yang diharapkan akan menjadi pegangan bagi anak didik dalam melaksanakan tugas hidupnya secara bertanggungjawab  dan dapat menjadi manusia seutuhnya sebagaimana tujuan yang diharapkan.
B Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka untuk memudahkan pembahasan, kami buat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian sistem pendidikan?
2.      Bagaimanakah hubungan antara pendidikan dengan reproduksi sosial?
3.      Bagaimana Peran Pendidikan Dalam Perubahan Sosial-Budaya?
4.      Bagaimana peran pendidikan dalam meningkatkan mobilitas sosial?
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian sistem pendidikan
2.      Untuk mengetahui hubungan antara pendidikan dengan reproduksi sosial
3.      Untuk mengetahui Peran Pendidikan Dalam Perubahan Sosial-Budaya
4.      Untuk mengetahui peran pendidikan dalam meningkatkan mobilitas sosial


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Pendidikan
Kata sistem barasal dari bahasa Yunani yaitu systema yang berarti “cara, strategi”. Dalam bahasa Inggris system berarti “system, susunan, jaringan, cara”. System juga diartikan “suatu strategi, cara berpikir atau model berpikir”. Definisi tradisional menyatakan bahwa system adalah seperangkat komponen atau unsur-unsur yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan. Misalnya mobil adalah suatu system, yang meliputi komponen-komponen seperti roda, rem, kemodi, mesin, dan sebagainya. Dalam artian yang luas, mobil sebenarnya adalah suatu subsistem atau komponen dalam system tranportasi, di samping alat-alat transport lainnya, seperti sepeda, motor, pesawat terbang dan sebagainya.
Definisi modern juga tidak jauh berbeda dengan definisi tradisional seperti apa yang dikemkakan oleh para ahli, antara lain:
1. Immegart mendifinisikan system adalah suatu keseluruhan yang memiliki bagian-bagian yang tersusun secara sistematis, bagian-bagian itu terelasi antara satu dengan yang lain, serta peduli terhadap kontek lingkungannya.
2. Roger A Kanfman mendifinisikan system dengan sutu totalitas yang tersusun dari bagian-bagian yang bekerja secara sendiri-diri atau bekerja bersama-sama untuk mencapai hasil atau tujuan yang diinginkan berdasarkan kebutuhan.
3. Zahara Idris mengemukakan bahwa system adalah suatu kesatuan yang terdiri atas komponen-komponen atau element-element, atau unsur-unsur sebagai sumber-sumber yang mempunyai hubungan fungsional yang teratur untuk mencapai suatu hasil.
Sedangkan pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja serta penuh tanggung jawab yang dilakukan orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan.
Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setiap system pasti mempunyai ciri-ciri, antara lain:
1. Komponen-komponen, Komponen adalah bagian suatu system yang melaksanakan suatu fungsi untuk menunjang usaha mencapai tujuan system.
2. Interaksi atau saling berhubungan, semua komponen dalam sustu system pasti saling mempengaruhi dan saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
3. Proses transformasi, semua system dalam mencapai tujuannya pasti memerlukan sebuah proses.
4. Koreksi, untuk mengetahui apakah semuanya berjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan yangdiinginkan, maka diperlukan adanya koreksi terhadap semua itu.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, mungkin dapat kita simpulkan bahwa sistem pendidikan adalah suatu system yang terdiri dari komponen-komponen yang ada dalam proses pendidikan, dimana antara satu komponen dengan komponen yang lainnya saling berhubungan dan berinteraksi untuk mencapai tujuan pendidikan.
2.2  Hubungan antara Pendidikan dengan Reproduksi Sosial
Ada pandangan yang kuat di kalangan para pendidik radikal bahwa pendidikan dan penyelenggaraan proses belajar mengajar, di antaranya dalam bentuk pelatihan, pada dasarnya tidak pernah terbebas dari kepentingan politik dan sistem sosial ekonomi dalam kekuasaan yang ada. Oleh karena itu, hakikat pendidikan bagi golongan mereka tidak lebih sebagai sarana untuk mereproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil, seperti sistem kelas, relasi gender, relasi rasisme, ataupun relasi sistem lainnya. Pandangan seperti ini sering disebut dengan pendidikan sebagai reproduksi sosial.
Pola pendidikan semacam ini telah lama dijalankan oleh bangsa Indonesia. Pola pendidikan ini telah melahirkan orang-orang yang siap dipakai untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Out-put pendidikan seperti ini adalah orang-orang yang diatur sedemikian rupa untuk mengisi kepentingan politik tertentu. Dalam hal ini, pendidikan adalah wahana penjinakan atau alat hegemoni dari sistem dan ideologi kelompok dominan. Proses aktualisasi dalam belajar mengajar seperti ini adalah sama dengan yang dikritik oleh Paule Freire dengan teori Banking Concept of Education (BCE).
Menurut Freire, setidaknya terdapat tiga asumsi —yang menurutnya tidak tepat— yang melatarbelakangi BCE.  Pertama, pemahaman yang keliru tentang manusia sebagai objek dan bukan sebagai subjek yang bertindak. Kedua, adanya dikotomi antara manusia dan dunia: seorang manusia semata-mata ada di dunia dan bukan bersama dengan dunia atau manusia lainnya; seorang manusia hanyalah penonton dan bukan re-kreator. Ketiga, manusia adalah makhluk hidup yang dapat diatur dan dikuasai sepenuhnya. Asumsi-asumsi inilah yang diterjemahkan ke dalam tindakan belajar mengajar di kelas. Menurut BCE, guru berperan penuh dalam memilih dan menentukan bahan yang akan diajarkan, sedangkan murid harus beradaptasi dengan ketentuan sang guru serta berperan untuk menghafalkan bahan-bahan tersebut dengan seksama. Guru adalah sosok yang mempunyai pengetahuan sedangkan murid tidak tahu apa-apa, dan belajar mengajar adalah proses penganugerahan pengetahuan dari guru kepada murid. Hubungan guru-murid adalah hubungan hierarkikal dan bukan dialogikal. Dari sisi materi pengajaran, metode ini meyakini bahwa realitas adalah statis, terbagi-bagi dan dapat diprediksi. Apa yang akan dihasilkan oleh BCE? Menurut Freire, BCE tidak akan mendorong siswa untuk secara kritis mempertimbangkan realitas. Murid hanya akan menjadi penerima yang pasif dari realitas yang diberikan, tanpa pernah bisa mempertanyakan kebenaran atau kebergunaan realitas yang diajarkan kepada dirinya. Yang disebut keberhasilan dalam metode ini adalah ketika murid telah menghafalkan dengan baik semua pengetahuan yang telah didepositokan ke dalam dirinya. Sehingga, murid yang baik adalah murid yang dapat beradaptasi dengan baik dengan realita yang berada di sekelilingya, karena manusia semacam inilah yang “cocok” dengan dunia.8
Lebih lanjut, Freire menegaskan bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia kembali. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya membuat masyarakat mengalami proses dehumanisasi. Pendidikan sebagai bagian dari sistem masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi.8
Reproduksi sosial menuntut suatu proses legitimasi. Ideologi “kesetaraan kesempatan” telah dicanangkan melalui suatu ingatan bahwa kekuatan sosial terlihat dalam bentuk pertukaran ekonomis, dan karena itu pasar kehilangan kredibilitasnya secara juju. Sejumlah penulis berpendapat bahwa ideologi balas jasa telah menempatkan dirinya sebagai tema yang tersahkan. Hal ini mengacu pada standar pencapaian, upaya perorangan, keterbatasan dan kehendak yang berbaur dengan pengertian rumusan kemampuan dalam hubungannya dengan tuntutan teknologi masyarakat yang maju. Ada bentuk lain bagaimana ideologi “balas jasa” meningkat pesat, dalam arti, tak hanya dalam bentuk pengakuan formal kemajuan melainkan juga melalui atribut pribadi yang ‘bukan sebagai kepribadian’. Kepicikan pengertian ini mencuat sebagai upaya pembenaran atas proses seleksi yang terjadi, alokasi, dan penghargaan sosial. Hal ini memerlukan suatu fleksibilitas dalam hubungannya dengan sistem pekerjaan. Keterkaitan antara pengakuan formal akademis yang cocok dengan jenis pekerjaan tertentu dan pribadi yang memegang gelar diabaikan dengan melibatkan karakter kepribadian menjadi pernilaian.
Tentu saja proses ini selalu terjadi, namun kini makin terlembagakan di sekolah-sekolah dan di tempat-tempat kerja. Proses ini terkait langsung dengan kebutuhan perorangan akan keterampilan-keterampilan di berbagai pangsa pasar kerja yang berbeda-beda. Proses tersebut terpaut langsung dengan kebutuhan perkembangan keterampilan-keterampilan pribadi dalam berbagai segmen pasar kerja. Sebagai isi ideologi yang selalu berubah maka perubahan itu juga terjadi di dalam praktik sosial yang menguatkan pengetahuan dunia sosial.
Tak hanya sebatas itu, relasi dan praktik sosial juga suatu bentukan ideologis dan melayani kepentingan alami ideologi bersangkutan. Hal ini menjadi persoalan penting dalam analisa reproduksi sosial yang menitik-beratkan pada ideologi sebagai kumpulan gagasan yang tak terpisahkan dari praktik sosial. Althusser tidak mempertimbangkan persoalan mediasi dan kontradiksi antara aparat ideologi dan lembaga.9 Althusser betul ketika beranggapan bahwa kompleks sekolah-keluarga merupakan ruang utama untuk mereproduksi relasi sosial suatu produksi. Namun dari sudut pandang feminis, justru penting mencari jalan keluar dari berbagai pertentangan itu daripada sekadar menganalisa kompleks ‘sekolah-keluarga’ yang saling menekan satu sama lain dalam rangka mempersiapkan orang masuk ke pasar kerja. Kompleks ‘sekolah-keluarga’ adalah arena yang menentukan bagi reproduksi sosial ‘femininitas’ dan ‘maskulinitas’. Namun demikian, lembaga keluarga dan sistem pendidikan hanya institusi pedagogis, dan diyakini demikian. Tak hanya keluarga atau sekolah sebagai lembaga yang meneruskan proses reproduksi sosial, tetapi juga ideologi berkuasa keluarga dan sistem pendidikan menjadi tempat bagi pembelajaran dan sosialisasinya.
2.3 Peran Pendidikan Dalam Perubahan Sosial-Budaya
Pendidikan sebagai Sosialisasi Kebudayaan tidak tampak (invisble power), yang mampu menggiring dan mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik,kesenian dan sebagainya.
Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak diperoleh manusia dengan begitu saja secara ascribed, tetapi melalui proses belajar yang berlangsung tanpa henti, sejak dari manusia itu dilahirkan sampai dengan ajal menjemputnya. Proses belajar dalam konteks kebudayaan bukan hanya dalam bentuk internalisasi dari sistem “pengetahuan” yang diperoleh manusia melalui pewarisan atau transmisi dalam keluarga, lewat sistem pendidikan formal di sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya, melainkan juga diperoleh melalui proses belajar dari berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosialnya.
Melalui pewarisan kebudayaan dan internalisasi pada setiap individu, pendidikan hadir dalam bentuk sosialisasi kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat setempat dan memelihara hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses perubahan tatanan sosio-kultur masyarakat dalam rangka mengembangkan kemajuan peradabannya. Sebaliknya, dimensi-dimensi sosial yang senantiasa mengalami dinamika perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan faktor dominan yang telah membentuk eksistensi pendidikan manusia. Penggunaan alat dansarana kebutuhan hidup yang modern telah memungkinkan pola pikir dan sikap manusia untuk memproduk nilai-nilai baru sesuai dengan intensitas pengaruh teknologi terhadap tatanan kehidupan sosial budaya.
Dalam hal ini, pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosial masyarakat untuk mengembangkan suatu sistem pembinaan anggota masyarakat yang relevan dengan tuntutan perubahan zaman. Abad globalisasi telah menyajikan nilai-nilai baru, pengertian- pengertian baru serta perubahan-perubahan di seluruh ruang lingkup kehidupan manusia yang waktu kedatangannya tidak bisa diduga-duga. Sehingga dunia pendidikan merasa perlu untuk membekali diri dengan perangkat pembelajaran yang dapat memproduk manusia zaman sesuai dengan atmosfir tuntutan global. Penguasaan teknologi informasi, penyediaan SDM yang profesional, terampil dan berdaya guna bagi masyarakat, kemahiran menerapkan Iptek, perwujudan tatanan sosial masyarakat yang terbuka, demokratis, humanis serta progresif dalam menghadapi kemajuan jaman merupakan beberapa bekal mutlak yang harus dimiliki oleh semua bangsa di dunia ini yang ingin tetap bertahan menghadapi tata masyarakat baru berwujud globalisasi. Melihat urgensi hubungan antara pendidikan dan dinamika sosial budaya, sosiologi pendidikan berusaha menerapkan analisis ilmiah untuk memahami fenomena pendidikan dalam hubungannya dengan perubahan sosial kebudayaan. Di mana pada langkah awalnya akan dibangun suatu proses penjelasan hakikat kebudayaan
sebagai wahana tumbuh kembangnya eksistensi pendidikan terhadap anggota masyarakat.
Sebagai salah satu perangkat kebudayaan pendidikan akan melakukan tugas-tugas kelembagaan
sesuai dengan hukum perkembangan masyarakat. Dari sini dapat kita amati bersama sebuah alur pembahasan hubungan dialektik antara pendidikan dengan realitas perkembangan sosial
 faktual yang saat ini tengah menggejala pada hampir seluruh masyarakat dunia

2.4 Peran Pendidikan Dalam Meningkatkan Mobilitas Sosial
Pada dasarnya setiap warga dalam suatu masyarakat mempunyai kesempatan untuk menaikan kelas sosial mereka dalam struktur sosial masyarakat yang bersangkutan. Termasuk dalam masyarakat yang menganut sistem pelapisan yang tertutup atau kaku. Inilah yang biasa disebut dengan mobilitas sosial. Mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial yang lainnya (Horton & Hunt, 1999). Masyarakat dengan sistem stratifikasi terbuka memilki tingkat mobilitas yang tinggi dibanding masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial yang tertutup. Dalam dunia modern seperti sekarang ini, banyak negara mengupayakan peningkatan mobilitas sosial dalam masyarakatnya, karena  mereka yakin bahwa hal tersebut akan membuat orang melakukan jenis pekerjaan yang paling cocok bagi diri mereka. Apabila tingkat mobilitas tinggi, meskipun latar belakang sosial individu berbeda, maka mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Apabila tingkat mobilitas sosial rendah, maka tentu saja kebanyakan orang akan terkungkung dalam status para nenek moyang mereka.Apabila kita berbicara menyangkut mobilitas sosial, biasanya kita berpikir tentang perpindahan dari suatu tingkat yang rendah ke suatu tingkat yang lebih tinggi, sesungguhnya mobilitas dapatberlangsung dalam dua arah. Sebagaimana orang berhasil mencapai status yang tinggi, namun beberapa orang mengalamikegagalan, dan selebihnya tetap tinggal pada tingkat status yang dimiliki oleh orang tua mereka, bahkan turun lebih rendah dari-pada itu. Mobilitas jenis di atas merupakan bentuk mobilitas dalam lingkup antar generasi yakni kita bisa memperbandingkan status pekerjaan ayah dan anak, selain itu kita juga bisa mengetahui sampai sejauh mana sang anak mengikuti jejak sang ayah dalam hal pekerjaan.
Mobilitas juga bisa ditelaah dari segi gerak “intra generasi”, yakni kita bisa mengukur sejauh mana individu yang sama mengalami perubahan sosial dalam masa hidupnya sendiri. Kembali seperti pembahasan sebelumnya, dalam kedua hal itu yang kita perhatikan adalah tingkat keterbukaan masyarakat secara ekstrim, suatu masyarakat terbuka adalah masyarakat di mana hubungan antara pekerjaan ayah dan pekerjaan anak, umpamanya, sama sekali acak sifatnya. Ini adalah sebuahmasyarakat di mana status diperoleh, berkat prestasi (achievement),di mana mengetahui pekerjaan seorang ayah tidak akan membantu kita untuk meramalkan pekerjaan anak-anaknya. Di ujung ekstrtim lainnya, sebuah masyarakat yang tertutup sama sekali adalah masyarakat dimana status sudah merupakan bawaan (ascribed) sejak lahir, penyapu jalan melahirkan (calon) penyapu jalan, juru rawat melahirkan (calon) juru rawat, pengemis melahirkan (calon) pengemis pula. Akan tetapi, dalam setiap masyarakat terdapat suatu campuran antara prestasi dan askripsi, hubungan timbal balik antara usaha sendiri dan keturunan adalah kompleks dan berubah-ubah. Meskipun mobilitas sosial memungkinkan masyarkat untuk mengisi kursi jabatan dengan orang yang paling ahli dan memberikan kesempatan bagi orang untuk mencapai tujuan hidupnya,namun mobilitas sosialpun mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi yang sebenarnya tidak kita inginkan, seperti rasa ketegangan pada pribadi yang berusaha untuk naik status, rasaketidakpuasan akan kegagalan, sikap angkuh dan sombong atas keberhasilan, rasa khawatir akan turunnya status, dan secara sosial bisa memperlemah solidaritas kelompok sebagai akibat dari dinamika antargolongan sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat berkasta, kita bisa temui contoh-contoh ekstrim dari konsekuensi-konsekuensi mobilitas sosial di atas, di sana perbedaan antara golongan yang menduduki tingkat tertentu dalammasyarakat sangat menonjol sekali dengan garis pembatas yang jelas. Norma-norma, nilai dan gaya hidup dari masing-masing kelompok juga sangat mencolok perbedaannya. Jadi menjadi hal yang biasa manakala rasa kekhawatiran orang kasta atas timbul saat posisinya terancam untuk turun ke kasta bawah. Bahkan orang kasta tertentupun jika melakukan pelanggaran atas norma yang berlaku dengan serta merta akan dikeluarkan dari kelompoknya dan dikucilkan oleh orang-orang sekasta bahkankeluarga sendirian dalam masyarakat suatu negara. Bagi politik dalam negeri, Dalam masyarakat yang struktur sosial dan politiknya menciptakan kemungkinan mobilitas sosial yang tidak sehat akan lebih memperparah konsekuensi nagatif atas proses dinamika sosial dan bahkan bisa menimbulkan sebuah antagonisme sosial yang tinggi antarkelompok. Kemajuan teknologi memang tidak menghilangkan ketidakadilan sosial, akan tetapi ia memperlemah efeknya. Masyarkat modern adalah masyarakat yang kompleks, dimana keragaman pekerjaan yang berbeda-beda kepentingannya membawa penghasilan yang tidak sama serta kondisi kerja yang tidak sama pula. Kita harus memahami situasi ini secara jelas. Adalah ungkin untuk menampilkan dua pandangan yang berbeda tentang evolusi masyarakat industri. Pada satu pihak, bisalah menunjukkan bahwa mereka bergerak ke arah stratifikasi social yanng kompleks, menuju diversifikasi pekerjaan dan jenis pekerjaan, akan tetapi, di pihak lain kita dapat melukiskan suatu situasi yang persis sebaliknya, penguburan garis-garis kelas.
Masih menurut Duverger, di pihak lain, peningkatan umum dalam standar hidup, penginkatan dalam kemakmuran material, pengembangan waktu senggang dan fasilitasnya. Semua faktor, merupakan ciri khas ekonomi yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi, cenderung menyebabkan ketidaksamaan yang berurutan langsung dengan antagonisme sosial.










BAB III
KESIMPULAN
3.1 Pengertian Sistem Pendidikan
mungkin dapat kita simpulkan bahwa sistem pendidikan adalah suatu system yang terdiri dari komponen-komponen yang ada dalam proses pendidikan, dimana antara satu komponen dengan komponen yang lainnya saling berhubungan dan berinteraksi untuk mencapai tujuan pendidikan.
3.2 Hubungan antara Pendidikan dengan Reproduksi Sosial
Ada pandangan yang kuat di kalangan para pendidik radikal bahwa pendidikan dan penyelenggaraan proses belajar mengajar, di antaranya dalam bentuk pelatihan, pada dasarnya tidak pernah terbebas dari kepentingan politik dan sistem sosial ekonomi dalam kekuasaan yang ada. Oleh karena itu, hakikat pendidikan bagi golongan mereka tidak lebih sebagai sarana untuk mereproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil, seperti sistem kelas, relasi gender, relasi rasisme, ataupun relasi sistem lainnya. Pandangan seperti ini sering disebut dengan pendidikan sebagai reproduksi sosial.
3.3 Peran Pendidikan Dalam Meningkatkan Mobilitas Sosial
Pada dasarnya setiap warga dalam suatu masyarakat mempunyai kesempatan untuk menaikan kelas sosial mereka dalam struktur sosial masyarakat yang bersangkutan. Termasuk dalam masyarakat yang menganut sistem pelapisan yang tertutup atau kaku. Inilah yang biasa disebut dengan mobilitas sosial. Mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial yang lainnya (Horton & Hunt, 1999). Masyarakat dengan sistem stratifikasi terbuka memilki tingkat mobilitas yang tinggi dibanding masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial yang tertutup.
3.4 Peran Pendidikan Dalam Meningkatkan Mobilitas Sosial
Pada dasarnya setiap warga dalam suatu masyarakat mempunyai kesempatan untuk menaikan kelas sosial mereka dalam struktur sosial masyarakat yang bersangkutan. Termasuk dalam masyarakat yang menganut sistem pelapisan yang tertutup atau kaku. Inilah yang biasa disebut dengan mobilitas sosial. Mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial yang lainnya (Horton & Hunt, 1999). Masyarakat dengan sistem stratifikasi terbuka memilki tingkat mobilitas yang tinggi dibanding masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial yang tertutup.

DAFTAR PUSTAKA

http://pengertian-sistem-pendidikan.html 18 september 2012



0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto saya
baron, Nganjuk/jawa timur, Indonesia
blogger ini dibuat untuk meningkatkan Dzikir Fikir Amal Shaleh