PERAN
SISTEM PENDIDIKAN DALAM REPROKDUKSI STRUKTURAL DAN KULTURAL PENDIDIKAN
MEMBERIKAN KESEMPATAN UNTUK MENINGKATKAN MOBILITAS SOSIAL
MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam
Dosen
Pembina : Drs. H. Athor Subroto, M. Si.
Disusun
oleh :
Kelompok
III
Sajian
II
Mahfud
Effendy
M. Ulil
Abshor
Syukrul
Abidin
Riza
Maslamah
Binti
Qoyyimah
Nurin
Khoirun Nisa’
Semester
V B
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM “MIFTAHUL ‘ULA”
(STAIM)
NGLAWAK-KERTOSONO-NGANJUK
SEPTEMBER
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang Masalah
Pendidikan islam mempunyai peran aktif dalam
menciptakan generasi yang mampu berinteraksi sosial dengan baik, sebaliknya
sosiologi memberikan informasi ke dalam dunia pendidikan tentang nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat. Secara umum masalah pendidikan merupakan masalah
yang sangat penting dan tidak bisa
dipisahkan dari seluruh rangkaian kehidupan manusia. Kebanyakan manusia
memandang pendidikan sebagai sebuah kegiatan mulia yang akan mengarahkannya
pada nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikan merupakan suatu perbuatan,
tindakan dan praktek. Namun demikian
pendidikan tidak dapat diartikan sebagai satu hal yang mudah, sederhana dan
tidak memerlukan pemikiran, karena istilah pendidikan sebagai praktek,
mengandung implikasi pemahaman akan arah dan tujuan.
Proses
pendidikan bukan hanya sekedar lahiriah dan suatu perilaku kosong saja.
Pendidikan diarahkan untuk mencapai maksud arah dan tujuan ke arah sikap,
perilaku dan kemampuan serta pengetahuan yang diharapkan akan menjadi pegangan
bagi anak didik dalam melaksanakan tugas hidupnya secara bertanggungjawab dan dapat menjadi manusia seutuhnya sebagaimana
tujuan yang diharapkan.
B Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang dipaparkan di atas, maka untuk memudahkan pembahasan, kami buat rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa
pengertian sistem pendidikan?
2. Bagaimanakah
hubungan antara pendidikan dengan reproduksi sosial?
3. Bagaimana Peran Pendidikan Dalam
Perubahan Sosial-Budaya?
4. Bagaimana
peran pendidikan dalam meningkatkan mobilitas sosial?
C. Tujuan Masalah
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui pengertian sistem pendidikan
2. Untuk
mengetahui hubungan antara pendidikan dengan reproduksi sosial
3. Untuk
mengetahui Peran Pendidikan Dalam Perubahan
Sosial-Budaya
4. Untuk
mengetahui peran pendidikan dalam meningkatkan mobilitas sosial
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Pendidikan
Kata
sistem barasal dari bahasa Yunani yaitu systema yang berarti “cara, strategi”.
Dalam bahasa Inggris system berarti “system, susunan, jaringan, cara”. System
juga diartikan “suatu strategi, cara berpikir atau model berpikir”. Definisi
tradisional menyatakan bahwa system adalah seperangkat komponen atau
unsur-unsur yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan. Misalnya
mobil adalah suatu system, yang meliputi komponen-komponen seperti roda, rem,
kemodi, mesin, dan sebagainya. Dalam artian yang luas, mobil sebenarnya adalah
suatu subsistem atau komponen dalam system tranportasi, di samping alat-alat
transport lainnya, seperti sepeda, motor, pesawat terbang dan sebagainya.
Definisi
modern juga tidak jauh berbeda dengan definisi tradisional seperti apa yang
dikemkakan oleh para ahli, antara lain:
1. Immegart mendifinisikan system
adalah suatu keseluruhan yang memiliki bagian-bagian yang tersusun secara
sistematis, bagian-bagian itu terelasi antara satu dengan yang lain, serta
peduli terhadap kontek lingkungannya.
2. Roger A Kanfman mendifinisikan
system dengan sutu totalitas yang tersusun dari bagian-bagian yang bekerja
secara sendiri-diri atau bekerja bersama-sama untuk mencapai hasil atau tujuan
yang diinginkan berdasarkan kebutuhan.
3. Zahara Idris mengemukakan bahwa
system adalah suatu kesatuan yang terdiri atas komponen-komponen atau
element-element, atau unsur-unsur sebagai sumber-sumber yang mempunyai hubungan
fungsional yang teratur untuk mencapai suatu hasil.
Sedangkan pendidikan pada hakikatnya
merupakan suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja serta penuh tanggung
jawab yang dilakukan orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari
keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan.
Menurut
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan setiap system pasti mempunyai ciri-ciri,
antara lain:
1. Komponen-komponen, Komponen
adalah bagian suatu system yang melaksanakan suatu fungsi untuk menunjang usaha
mencapai tujuan system.
2. Interaksi atau saling
berhubungan, semua komponen dalam sustu system pasti saling mempengaruhi dan
saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
3. Proses transformasi, semua
system dalam mencapai tujuannya pasti memerlukan sebuah proses.
4. Koreksi, untuk mengetahui apakah
semuanya berjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan yangdiinginkan, maka
diperlukan adanya koreksi terhadap semua itu.
Berdasarkan pengertian-pengertian di
atas, mungkin dapat kita simpulkan bahwa sistem
pendidikan adalah suatu system yang terdiri dari komponen-komponen yang ada
dalam proses pendidikan, dimana antara satu komponen dengan komponen yang
lainnya saling berhubungan dan berinteraksi untuk mencapai tujuan pendidikan.
2.2
Hubungan
antara Pendidikan dengan Reproduksi Sosial
Ada pandangan yang kuat di kalangan
para pendidik radikal bahwa pendidikan dan penyelenggaraan proses belajar
mengajar, di antaranya dalam bentuk pelatihan, pada dasarnya tidak pernah
terbebas dari kepentingan politik dan sistem sosial ekonomi dalam kekuasaan
yang ada. Oleh karena itu, hakikat pendidikan bagi golongan mereka tidak lebih
sebagai sarana untuk mereproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil,
seperti sistem kelas, relasi gender, relasi rasisme, ataupun relasi sistem
lainnya. Pandangan seperti ini sering disebut dengan pendidikan sebagai reproduksi sosial.
Pola pendidikan semacam ini telah
lama dijalankan oleh bangsa Indonesia. Pola pendidikan ini telah melahirkan
orang-orang yang siap dipakai untuk kepentingan-kepentingan sesaat. Out-put
pendidikan seperti ini adalah orang-orang yang diatur sedemikian rupa untuk
mengisi kepentingan politik tertentu. Dalam hal ini, pendidikan adalah wahana
penjinakan atau alat hegemoni dari sistem dan ideologi kelompok dominan. Proses
aktualisasi dalam belajar mengajar seperti ini adalah sama dengan yang dikritik
oleh Paule Freire dengan teori Banking Concept of Education (BCE).
Menurut Freire, setidaknya terdapat
tiga asumsi —yang menurutnya tidak tepat— yang melatarbelakangi BCE. Pertama, pemahaman yang keliru tentang
manusia sebagai objek dan bukan sebagai subjek yang bertindak. Kedua, adanya
dikotomi antara manusia dan dunia: seorang manusia semata-mata ada di dunia dan
bukan bersama dengan dunia atau manusia lainnya; seorang manusia hanyalah
penonton dan bukan re-kreator. Ketiga, manusia adalah makhluk hidup yang dapat
diatur dan dikuasai sepenuhnya. Asumsi-asumsi inilah yang diterjemahkan ke
dalam tindakan belajar mengajar di kelas. Menurut BCE, guru berperan penuh
dalam memilih dan menentukan bahan yang akan diajarkan, sedangkan murid harus
beradaptasi dengan ketentuan sang guru serta berperan untuk menghafalkan
bahan-bahan tersebut dengan seksama. Guru adalah sosok yang mempunyai
pengetahuan sedangkan murid tidak tahu apa-apa, dan belajar mengajar adalah
proses penganugerahan pengetahuan dari guru kepada murid. Hubungan guru-murid
adalah hubungan hierarkikal dan bukan dialogikal. Dari sisi materi pengajaran,
metode ini meyakini bahwa realitas adalah statis, terbagi-bagi dan dapat
diprediksi. Apa yang akan dihasilkan oleh BCE? Menurut Freire, BCE tidak akan
mendorong siswa untuk secara kritis mempertimbangkan realitas. Murid hanya akan
menjadi penerima yang pasif dari realitas yang diberikan, tanpa pernah bisa
mempertanyakan kebenaran atau kebergunaan realitas yang diajarkan kepada
dirinya. Yang disebut keberhasilan dalam metode ini adalah ketika murid telah
menghafalkan dengan baik semua pengetahuan yang telah didepositokan ke dalam
dirinya. Sehingga, murid yang baik adalah murid yang dapat beradaptasi dengan
baik dengan realita yang berada di sekelilingya, karena manusia semacam inilah
yang “cocok” dengan dunia.8
Lebih lanjut, Freire menegaskan
bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia kembali. Gagasan ini berangkat
dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya
membuat masyarakat mengalami proses dehumanisasi. Pendidikan sebagai bagian
dari sistem masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi.8
Reproduksi sosial menuntut suatu
proses legitimasi. Ideologi “kesetaraan kesempatan” telah dicanangkan melalui
suatu ingatan bahwa kekuatan sosial terlihat dalam bentuk pertukaran ekonomis,
dan karena itu pasar kehilangan kredibilitasnya secara juju. Sejumlah penulis
berpendapat bahwa ideologi balas jasa telah menempatkan dirinya sebagai tema
yang tersahkan. Hal ini mengacu pada standar pencapaian, upaya perorangan,
keterbatasan dan kehendak yang berbaur dengan pengertian rumusan kemampuan
dalam hubungannya dengan tuntutan teknologi masyarakat yang maju. Ada bentuk
lain bagaimana ideologi “balas jasa” meningkat pesat, dalam arti, tak hanya
dalam bentuk pengakuan formal kemajuan melainkan juga melalui atribut pribadi
yang ‘bukan sebagai kepribadian’. Kepicikan pengertian ini mencuat sebagai
upaya pembenaran atas proses seleksi yang terjadi, alokasi, dan penghargaan
sosial. Hal ini memerlukan suatu fleksibilitas dalam hubungannya dengan sistem
pekerjaan. Keterkaitan antara pengakuan formal akademis yang cocok dengan jenis
pekerjaan tertentu dan pribadi yang memegang gelar diabaikan dengan melibatkan
karakter kepribadian menjadi pernilaian.
Tentu saja proses ini selalu
terjadi, namun kini makin terlembagakan di sekolah-sekolah dan di tempat-tempat
kerja. Proses ini terkait langsung dengan kebutuhan perorangan akan
keterampilan-keterampilan di berbagai pangsa pasar kerja yang berbeda-beda.
Proses tersebut terpaut langsung dengan kebutuhan perkembangan
keterampilan-keterampilan pribadi dalam berbagai segmen pasar kerja. Sebagai
isi ideologi yang selalu berubah maka perubahan itu juga terjadi di dalam
praktik sosial yang menguatkan pengetahuan dunia sosial.
Tak hanya sebatas itu, relasi dan
praktik sosial juga suatu bentukan ideologis dan melayani kepentingan alami
ideologi bersangkutan. Hal ini menjadi persoalan penting dalam analisa
reproduksi sosial yang menitik-beratkan pada ideologi sebagai kumpulan gagasan
yang tak terpisahkan dari praktik sosial. Althusser tidak mempertimbangkan persoalan
mediasi dan kontradiksi antara aparat ideologi dan lembaga.9 Althusser betul
ketika beranggapan bahwa kompleks sekolah-keluarga merupakan ruang utama untuk
mereproduksi relasi sosial suatu produksi. Namun dari sudut pandang feminis,
justru penting mencari jalan keluar dari berbagai pertentangan itu daripada
sekadar menganalisa kompleks ‘sekolah-keluarga’ yang saling menekan satu sama
lain dalam rangka mempersiapkan orang masuk ke pasar kerja. Kompleks
‘sekolah-keluarga’ adalah arena yang menentukan bagi reproduksi sosial
‘femininitas’ dan ‘maskulinitas’. Namun demikian, lembaga keluarga dan sistem
pendidikan hanya institusi pedagogis, dan diyakini demikian. Tak hanya keluarga
atau sekolah sebagai lembaga yang meneruskan proses reproduksi sosial, tetapi
juga ideologi berkuasa keluarga dan sistem pendidikan menjadi tempat bagi
pembelajaran dan sosialisasinya.
2.3
Peran Pendidikan Dalam Perubahan Sosial-Budaya
Pendidikan sebagai Sosialisasi
Kebudayaan tidak tampak (invisble power), yang mampu menggiring dan mengarahkan
manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan
pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik masyarakat tersebut, baik di bidang
ekonomi, sosial, politik,kesenian dan sebagainya.
Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak
diperoleh manusia dengan begitu saja secara
ascribed, tetapi melalui proses belajar yang berlangsung tanpa henti, sejak
dari manusia itu dilahirkan sampai dengan ajal menjemputnya.
Proses belajar dalam konteks kebudayaan
bukan hanya dalam bentuk internalisasi dari sistem
“pengetahuan”
yang diperoleh manusia melalui pewarisan atau
transmisi
dalam keluarga, lewat sistem pendidikan formal di
sekolah atau
lembaga pendidikan formal lainnya, melainkan juga
diperoleh
melalui proses belajar dari berinteraksi dengan lingkungan
alam dan sosialnya.
Melalui pewarisan kebudayaan dan
internalisasi pada setiap individu, pendidikan hadir dalam bentuk sosialisasi
kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat setempat dan memelihara
hubungan timbal balik yang menentukan proses-proses perubahan tatanan
sosio-kultur masyarakat dalam rangka mengembangkan kemajuan peradabannya.
Sebaliknya, dimensi-dimensi sosial yang senantiasa mengalami dinamika
perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan
faktor dominan yang telah membentuk eksistensi pendidikan manusia. Penggunaan
alat dansarana kebutuhan hidup yang modern telah memungkinkan pola pikir dan
sikap manusia untuk memproduk nilai-nilai baru sesuai dengan intensitas
pengaruh teknologi terhadap tatanan kehidupan sosial budaya.
Dalam
hal ini, pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosial masyarakat untuk
mengembangkan suatu sistem pembinaan anggota masyarakat yang relevan dengan
tuntutan perubahan zaman. Abad globalisasi telah menyajikan nilai-nilai baru,
pengertian- pengertian baru serta perubahan-perubahan di seluruh ruang lingkup
kehidupan manusia yang waktu kedatangannya tidak bisa diduga-duga. Sehingga dunia
pendidikan merasa perlu untuk membekali diri dengan perangkat pembelajaran yang
dapat memproduk manusia zaman sesuai dengan atmosfir tuntutan global. Penguasaan
teknologi informasi, penyediaan SDM yang profesional, terampil dan berdaya guna
bagi masyarakat, kemahiran menerapkan Iptek, perwujudan tatanan sosial
masyarakat yang terbuka, demokratis, humanis serta progresif dalam menghadapi kemajuan
jaman merupakan beberapa bekal mutlak yang harus dimiliki oleh semua bangsa di dunia
ini yang ingin tetap bertahan menghadapi tata masyarakat baru berwujud
globalisasi. Melihat urgensi hubungan antara pendidikan dan dinamika sosial
budaya, sosiologi pendidikan berusaha menerapkan analisis ilmiah untuk memahami
fenomena pendidikan dalam hubungannya dengan perubahan sosial kebudayaan. Di
mana pada langkah awalnya akan dibangun suatu proses penjelasan hakikat
kebudayaan
sebagai wahana tumbuh kembangnya eksistensi pendidikan terhadap anggota masyarakat.
sebagai wahana tumbuh kembangnya eksistensi pendidikan terhadap anggota masyarakat.
Sebagai
salah satu perangkat kebudayaan pendidikan akan melakukan tugas-tugas
kelembagaan
sesuai dengan hukum perkembangan masyarakat. Dari sini dapat kita amati bersama sebuah alur pembahasan hubungan dialektik antara pendidikan dengan realitas perkembangan sosial
faktual yang saat ini tengah menggejala pada hampir seluruh masyarakat dunia
sesuai dengan hukum perkembangan masyarakat. Dari sini dapat kita amati bersama sebuah alur pembahasan hubungan dialektik antara pendidikan dengan realitas perkembangan sosial
faktual yang saat ini tengah menggejala pada hampir seluruh masyarakat dunia
2.4 Peran Pendidikan Dalam Meningkatkan
Mobilitas Sosial
Pada
dasarnya setiap warga dalam suatu masyarakat mempunyai kesempatan untuk
menaikan kelas sosial mereka dalam struktur sosial masyarakat yang
bersangkutan. Termasuk dalam masyarakat yang menganut sistem pelapisan yang
tertutup atau kaku. Inilah yang biasa disebut dengan mobilitas sosial.
Mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu
kelas sosial ke kelas sosial yang lainnya (Horton & Hunt, 1999). Masyarakat
dengan sistem stratifikasi terbuka memilki tingkat mobilitas yang tinggi
dibanding masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial yang tertutup. Dalam
dunia modern seperti sekarang ini, banyak negara mengupayakan peningkatan
mobilitas sosial dalam masyarakatnya, karena
mereka yakin bahwa hal tersebut akan membuat orang melakukan jenis
pekerjaan yang paling cocok bagi diri mereka. Apabila tingkat mobilitas tinggi,
meskipun latar belakang sosial individu berbeda, maka mereka tetap dapat merasa
mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi.
Apabila tingkat mobilitas sosial rendah, maka tentu saja kebanyakan orang akan
terkungkung dalam status para nenek moyang mereka.Apabila kita berbicara
menyangkut mobilitas sosial, biasanya kita berpikir tentang perpindahan dari
suatu tingkat yang rendah ke suatu tingkat yang lebih tinggi, sesungguhnya
mobilitas dapatberlangsung dalam dua arah. Sebagaimana orang berhasil mencapai
status yang tinggi, namun beberapa orang mengalamikegagalan, dan selebihnya
tetap tinggal pada tingkat status yang dimiliki oleh orang tua mereka, bahkan
turun lebih rendah dari-pada itu. Mobilitas jenis di atas merupakan bentuk
mobilitas dalam lingkup antar generasi yakni kita bisa memperbandingkan status
pekerjaan ayah dan anak, selain itu kita juga bisa mengetahui sampai sejauh
mana sang anak mengikuti jejak sang ayah dalam hal pekerjaan.
Mobilitas
juga bisa ditelaah dari segi gerak “intra generasi”, yakni kita bisa mengukur
sejauh mana individu yang sama mengalami perubahan sosial dalam masa hidupnya
sendiri. Kembali seperti pembahasan sebelumnya, dalam kedua hal itu yang kita
perhatikan adalah tingkat keterbukaan masyarakat secara ekstrim, suatu
masyarakat terbuka adalah masyarakat di mana hubungan antara pekerjaan ayah dan
pekerjaan anak, umpamanya, sama sekali acak sifatnya. Ini adalah sebuahmasyarakat
di mana status diperoleh, berkat prestasi (achievement),di mana mengetahui
pekerjaan seorang ayah tidak akan membantu kita untuk meramalkan pekerjaan
anak-anaknya. Di ujung ekstrtim lainnya, sebuah masyarakat yang tertutup sama
sekali adalah masyarakat dimana status sudah merupakan bawaan (ascribed) sejak
lahir, penyapu jalan melahirkan (calon) penyapu jalan, juru rawat melahirkan
(calon) juru rawat, pengemis melahirkan (calon) pengemis pula. Akan tetapi,
dalam setiap masyarakat terdapat suatu campuran antara prestasi dan askripsi,
hubungan timbal balik antara usaha sendiri dan keturunan adalah kompleks dan
berubah-ubah. Meskipun mobilitas sosial memungkinkan masyarkat untuk mengisi
kursi jabatan dengan orang yang paling ahli dan memberikan kesempatan bagi
orang untuk mencapai tujuan hidupnya,namun mobilitas sosialpun mengakibatkan
konsekuensi-konsekuensi yang sebenarnya tidak kita inginkan, seperti rasa
ketegangan pada pribadi yang berusaha untuk naik status, rasaketidakpuasan akan
kegagalan, sikap angkuh dan sombong atas keberhasilan, rasa khawatir akan
turunnya status, dan secara sosial bisa memperlemah solidaritas kelompok
sebagai akibat dari dinamika antargolongan sosial dalam masyarakat. Dalam
masyarakat berkasta, kita bisa temui contoh-contoh ekstrim dari
konsekuensi-konsekuensi mobilitas sosial di atas, di sana perbedaan antara
golongan yang menduduki tingkat tertentu dalammasyarakat sangat menonjol sekali
dengan garis pembatas yang jelas. Norma-norma, nilai dan gaya hidup dari
masing-masing kelompok juga sangat mencolok perbedaannya. Jadi menjadi hal yang
biasa manakala rasa kekhawatiran orang kasta atas timbul saat posisinya
terancam untuk turun ke kasta bawah. Bahkan orang kasta tertentupun jika
melakukan pelanggaran atas norma yang berlaku dengan serta merta akan
dikeluarkan dari kelompoknya dan dikucilkan oleh orang-orang sekasta
bahkankeluarga sendirian dalam masyarakat suatu negara. Bagi politik dalam
negeri, Dalam masyarakat yang struktur sosial dan politiknya menciptakan
kemungkinan mobilitas sosial yang tidak sehat akan lebih memperparah
konsekuensi nagatif atas proses dinamika sosial dan bahkan bisa menimbulkan
sebuah antagonisme sosial yang tinggi antarkelompok. Kemajuan teknologi memang
tidak menghilangkan ketidakadilan sosial, akan tetapi ia memperlemah efeknya.
Masyarkat modern adalah masyarakat yang kompleks, dimana keragaman pekerjaan
yang berbeda-beda kepentingannya membawa penghasilan yang tidak sama serta
kondisi kerja yang tidak sama pula. Kita harus memahami situasi ini secara
jelas. Adalah ungkin untuk menampilkan dua pandangan yang berbeda tentang
evolusi masyarakat industri. Pada satu pihak, bisalah menunjukkan bahwa mereka
bergerak ke arah stratifikasi social yanng kompleks, menuju diversifikasi
pekerjaan dan jenis pekerjaan, akan tetapi, di pihak lain kita dapat melukiskan
suatu situasi yang persis sebaliknya, penguburan garis-garis kelas.
Masih
menurut Duverger, di pihak lain, peningkatan umum dalam standar hidup,
penginkatan dalam kemakmuran material, pengembangan waktu senggang dan
fasilitasnya. Semua faktor, merupakan ciri khas ekonomi yang dihasilkan oleh
kemajuan teknologi, cenderung menyebabkan ketidaksamaan yang berurutan langsung
dengan antagonisme sosial.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1 Pengertian Sistem Pendidikan
mungkin
dapat kita simpulkan bahwa sistem pendidikan adalah
suatu system yang terdiri dari komponen-komponen yang ada dalam proses
pendidikan, dimana antara satu komponen dengan komponen yang lainnya saling
berhubungan dan berinteraksi untuk mencapai tujuan pendidikan.
3.2
Hubungan
antara Pendidikan dengan Reproduksi Sosial
Ada pandangan yang kuat di kalangan
para pendidik radikal bahwa pendidikan dan penyelenggaraan proses belajar
mengajar, di antaranya dalam bentuk pelatihan, pada dasarnya tidak pernah
terbebas dari kepentingan politik dan sistem sosial ekonomi dalam kekuasaan
yang ada. Oleh karena itu, hakikat pendidikan bagi golongan mereka tidak lebih
sebagai sarana untuk mereproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil,
seperti sistem kelas, relasi gender, relasi rasisme, ataupun relasi sistem
lainnya. Pandangan seperti ini sering disebut dengan pendidikan sebagai reproduksi sosial.
3.3 Peran Pendidikan Dalam
Meningkatkan Mobilitas Sosial
Pada
dasarnya setiap warga dalam suatu masyarakat mempunyai kesempatan untuk
menaikan kelas sosial mereka dalam struktur sosial masyarakat yang
bersangkutan. Termasuk dalam masyarakat yang menganut sistem pelapisan yang
tertutup atau kaku. Inilah yang biasa disebut dengan mobilitas sosial.
Mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu
kelas sosial ke kelas sosial yang lainnya (Horton & Hunt, 1999). Masyarakat
dengan sistem stratifikasi terbuka memilki tingkat mobilitas yang tinggi
dibanding masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial yang tertutup.
3.4 Peran Pendidikan Dalam
Meningkatkan Mobilitas Sosial
Pada
dasarnya setiap warga dalam suatu masyarakat mempunyai kesempatan untuk
menaikan kelas sosial mereka dalam struktur sosial masyarakat yang
bersangkutan. Termasuk dalam masyarakat yang menganut sistem pelapisan yang
tertutup atau kaku. Inilah yang biasa disebut dengan mobilitas sosial.
Mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu
kelas sosial ke kelas sosial yang lainnya (Horton & Hunt, 1999). Masyarakat
dengan sistem stratifikasi terbuka memilki tingkat mobilitas yang tinggi
dibanding masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial yang tertutup.
DAFTAR PUSTAKA
http://e-kalyanamitra.blogspot.com/2007/03/pendidikan-dan-reproduksi-sosial-sistem.html, diakses, 18 september 2012.
http://pengertian-sistem-pendidikan.html 18
september 2012
0 komentar:
Posting Komentar