PERSPEKTIF SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM dan INTEPRETASI
TEORITIS SYSTEM PENDIDIKAN
MAKALAH
“SAJIAN PERTAMA”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “SPI”
Dosen Pembimbing:
Drs. H. Athor Subroto, M. Si.
Disusun Oleh Kelompok IV :
1.
Rahmad Nur Wahid
2.
M. Dhowi Muji Arianto
3.
Siti Khusnul K
4.
Siti Munawaroh
5.
Fittahu Khoirun Nisa’
PRODI
(PAI)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM “MIFTAHUL ‘ULA”
NGLAWAK
KERTOSONO NGANJUK
SEPTEMBER,
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sosiologi pendidikan Islam merupakan mata kuliah yang
diberikan pada perguruan tinggi Islam negeri dan perguruan tinggi Islam swasta. Tujuan mempelajari sosiologi pendidikan
Islam agar mahasiswa mampu memahami prinsip sosiologi pendidikan Islam dan
mampu mengenali dan memecahkan masalah-masalah pendidikan Islam atas dasar
prinsip tersebut.
Dalam pendidikan dan masyarakat
tentunya sering ditemukan beberapa pandangan yang berbeda satu sama lain. Dalam
melihat kenyataan sosial atau biasa disebut dengan realitas sosial dalam
pendidikan dan masyarakat juga demikian. Penalaran atau penilaian atas sebuah
realitas umumnya dimulai dengan asumsi ( assumption ), yaitu dugaan
individu yang belum teruji kebenarannya. Dari asumsi-asumsi tersebut berkembang
menjadi perspektif, pandangan, atau paradigma. Berikut ini beberapa perspektif
dalam sosiologi pendidikan islam dan mengenai interpretasi teori system pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana perspektif dalam sosiologi pendidikan islam?
2.
Bagaimana
interpretasi teoritis system pendidikan?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Agar
mengerti dan memahami bagaimana perspektif dalam sosiologi pendidikan islam
2.
Agar
mengerti dan memahami tentang interpretasi teoritis system pendidikan
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Perspektif
Dalam Sosiologi Pendidikan Islam
1.
Perspektif Evolusionis
Perspektif
ini merupakan perspektif teoretis yang paling awal dalam sosiologi. Penganutnya
adalah Auguste Comte dan Herbert Spencer. Perspektif ini memberikan keterangan
yang memuaskan tentang bagaimana masyarakat manusia tumbuh dan berkembang.
Para
sosiolog yang menggunakan perspektif ini mencari pola perubahan dan
perkembangan yang muncul dalam masyarakat yang berbeda untuk mengetahui apakah
ada urutan perubahan yang berlaku umum. Dalam perspektif ini secara umum dapat
dikatakan bahwa perubahan manusia atau masyarakat itu selalu bergerak maju
(secara linear), namun ada beberapa hal yang tidak ditinggalkan sama sekali
dalam pola kehidupannya yang baru dan akan terus dibawa meskipun hanya kecil
sampai pada perubahan yang paling baru.
2.
Perspektif Fungsionalis
Dalam
perspektif ini, masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerja
sama secara terorganisasi dan teratur, serta memiliki seperangkat aturan dan
nilai yang dianut sebagian besar anggota masyarakat tersebut. Jadi, masyarakat
dipandang sebagai suatu sistem yang stabil, selaras, dan seimbang. Dengan
demikian menurut pandangan perspektif ini, setiap kelompok atau lembaga
melaksanakan tugas tertentu secara terus-menerus, karena hal itu fungsional.
Sehingga, pola perilaku timbul karena secara fungsional bermanfaat dan apabila
kebutuhan itu berubah, pola itu akan hilang atau berubah.
Hal
ini juga berarti bahwa perubahan sosial akan mengganggu keseimbangan masyarakat
yang stabil tersebut. Namun tidak lama kemudian akan tercipta kembali
keseimbangan. Perspektif ini lebih menekankan pada keteraturan dan stabilitas
dalam masyarakat. Lembaga-lembaga sosial seperti keluarga, pendidikan, dan
agama dianalisis dalam bentuk bagaimana lembaga-lembaga itu membantu mencukupi
kebutuhan masyarakat. Ini berarti lembaga-lembaga itu dalam analisis ini
dilihat seberapa jauh peranannya dalam memelihara stabilitas masyarakat.
Perspektif fungsionalis menekankan pada empat hal berikut ini.
a.
Masyarakat tidak bisa hidup kecuali anggota-anggotanya mempunyai persamaan
persepsi, sikap, dan nilai.
b.
Setiap bagian mempunyai kontribusi pada keseluruhan.
c.
Masing-masing bagian terintegrasi satu sama lain dan saling memberi dukungan.
d.
Masing-masing bagian memberi kekuatan, sehingga keseluruhan masyarakat menjadi
stabil.
Beberapa
sosiolog pendukung perspektif ini adalah Talcott Parsons, Kingsley Davis, dan
Robert K. Merton. Seorang antropolog yang juga sangat mendukung perspektif ini,
bahkan dapat dikatakan sebagai pelopornya adalah Bronislaw Malinowsky
(Polandia).
3.
Perspektif Interaksionisme
Perspektif
ini cenderung menolak anggapan bahwa fakta sosial adalah sesuatu yang
determinan terhadap fakta sosial yang lain. Bagi perspektif ini, orang sebagai
makhluk hidup diyakini mempunyai perasaan dan pikiran. Dengan perasaan dan
pikiran orang mempunyai kemampuan untuk memberi makna terhadap situasi yang
ditemui, dan mampu bertingkah laku sesuai dengan interpretasinya sendiri. Sikap
dan tindakan orang tidak dipaksa oleh struktur yang berada di luarnya (yang
membingkainya) serta tidak semata-mata ditentukan oleh masyarakat. Jadi, orang
dianggap bukan hanya mempunyai kemampuan mempelajari, memahami, dan
melaksanakan nilai dan norma masyarakatnya, melainkan juga bisa menemukan,
menciptakan, serta membuat nilai dan norma sosial (yang sebagian benar-benar
baru). Karena itu orang dapat membuat, menafsirkan, merencanakan, dan
mengontrol lingkungannya.
Singkatnya,
perspektif ini memusatkan perhatian pada interaksi antara individu dengan
kelompok, terutama dengan menggunakan simbol-simbol, antara lain tanda,
isyarat, dan katakata baik lisan maupun tulisan. Atau dengan kata lain
perspektif ini meyakini bahwa orang dapat berkreasi, menggunakan, dan
berkomunikasi melalui simbol-simbol. Tokoh-tokoh yang terkenal sebagai penganut
perspektif ini adalah George Herbert Mead dan W.I. Thomas.
4.
Perspektif Konflik
Perspektif
ini melihat masyarakat sebagai sesuatu yang selalu berubah, terutama sebagai
akibat dari dinamika pemegang kekuasaan yang terus berusaha memelihara dan
meningkatkan posisinya. Perspektif ini beranggapan bahwa kelompokkelompok
tersebut mempunyai tujuan sendiri yang beragam dan tidak pernah terintegrasi.
Dalam mencapai tujuannya, suatu kelompok seringkali harus mengorbankan kelompok
lain. Karena itu konflik selalu muncul, dan kelompok yang tergolong kuat setiap
saat selalu berusaha meningkatkan posisinya dan memelihara dominasinya.
Ciri
lain dari perspektif ini adalah cenderung memandang nilai dan moral sebagai rasionalisasi
untuk keberadaan kelompok yang berkuasa. Dengan demikian kekuasaan tidak
melekat dalam diri individu, tetapi pada posisi orang dalam masyarakat.
Pandangan ini juga menekankan bahwa fakta sosial adalah bagian dari masyarakat
dan eksternal dari sifatsifat individual. Singkatnya, pandangan ini
berorientasi pada studi struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial. Ia
memandang masyarakat terus- menerus berubah dan masing-masing bagian dalam
masyarakat potensial memacu dan menciptakan perubahan sosial. Dalam konteks
pemeliharaan tatanan sosial, perspektif ini lebih menekankan pada peranan
kekuasaan. Tokoh yang menganut perspektif ini adalah Karl Marx dan Frederich
Engles.
5.
Perspektif Struktural Fungsional
Perspektif struktural fungsional banyak dipengaruhi oleh
ilmu-ilmu alam khususnya oleh ilmu biologi. Perspektif ini menganalogikan
masyarakat seperti mahluk hidup atau yang dikenal dengan istilah “organisme”.
Masyarakat terdiri dari berbagai unsur yang saling berhubungan dan menjalankan
fungsinya masing-masing. Ralp Dahrendorf mengemukakan empat asumsi dasar dari
perspektif ini, yaitu:
3.
Setiap
unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada
terpeliharanya masyarakat sebagai suatu sistem.
4.
Setiap
struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsensus mengenai nilai di
kalangan para anggotanya.
Menurut perspektif struktural
fungsional masyarakat merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya saling
tergantung dan berhubungan. Bagi perspektif ini individu dibentuk oleh
masyarakat, dan ini merupakan fungsi penting yang harus dilakukan oleh
masyarakat. Sedangkan perubahan sosial menurut perspektif ini akan mendapat
perlawanan dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat.
Penjelasan perspektif struktural fungsional menitik
beratkan pada konsep-konsep integrasi, saling ketergantungan, stabilitas,
equilibrium atau titik keseimbangan.Tokoh-Tokoh dari perspektif
struktural fungsional di antaranya adalah Aguste Comte, Turner, Herbert
Spenser, Emile Durkheim, Talcott Parsons, dan Robert K. Merton.
6.Perspektif
Interaksionisme Simbolik
Perspektif Interaksionisme simbolik dikembangkan dari
konsep interaksi sosial. Interaksi sosial menurut perpektif ini merupakan
bagian yang penting dari masyarakat. Menurut Turner, ada empat asumsi dasar
yang mendasari perspektif interaksionisme simbolik yaitu :
4.
Masyarakat
tercipta, bertahan, dan berubah berdasarkan kemampuan manusia untuk berpikir,
untuk mendefinisikan, untuk melakukan renungan, dan untuk melakukan evaluasi.
Perspektif Interaksionisme simbolik melihat masyarakat
sebagai kumpulan individu-individu yang berinteraksi secara tatap muka dan
membentuk konsensus sosial. Perkembangan diri (kepribadian) individu berasal
dari komunikasi dan interaksi sosial. Perubahan sosial bagi perspektif ini
terjadi ketika tidak ada lagi konsensus bersama mengenai perilaku yang
diharapkan. Perubahan itu termasuk dikembangkannya pencapaian konsensus yang
baru. Perspektif ini menekankan pada konsep-konsep interpretasi, konsensus,
simbol-simbol, adanya harapan-harapan bersama, dan kehidupan sosial membentuk
kenyataan sosial
Para tokoh yang mengembangkan perspektif interaksionisme
simbolik diantaranya adalah Georg Simmel dan Max Weber, William James, Charles
Horton Cooley, John Dewey, George Herbert Mead, W.I. Thomas, Herbert Blumer,
Erving Goffman, dan Peter Berger.[1]
B. Intepretasi
Teoritis Sistem Pendidikan
Istilah sistem berasal dari bahasa
Yunani \'systema\' yang berarti sehimpunan bagian atau komponen yang saling
berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan. Sistem didefenisikan
sebagai satu keseluruhan dari sejumlah komponen yang saling berhubungan dan
berfungsi dalam mengubah masukan (input) menjadi hasil (output) sesuai tujuan
yang telah ditetapkan (Dinn Wahyudin,2008:8.4). Tujuan suatu sistem adalah
untuk mencapai suatu tujuan (goal) atau mencapai suatu sasaran (objectives).
Goal meliputi ruang lingkup yang luas sedangkan objectives meliputi ruang
lingkup yang sempit.[2]
Dengan demikian, sistem merupakan
suatu totalitas dari bagian-bagian yang saling berhubungan, dimana fungsi dari
totalitas tersebut berbeda dengan jumlah fungsi dari bagian-bagiannya.
Contohnya mobil, sepeda motor, komputer, jam tangan, tubuh manusia, organisasi
kemahasiswaan, pendidikan, perusahaan, ilmu, filsafat, masing-masing wujud
tersebut dapat dipandang sebagai sistem.
Menurut Gordon B. Davis, William A.
Shrode, dan Dan Voich (Tatang M. Amirin, 1996:59-61) jenis-jenis sistem terdiri
dari :
1. Berdasarkan wujudnya, sistem dibedakan menjadi
empat jenis yaitu sistem fisik (mobil), sistem konseptual (ilmu), sistem
biologi (tubuh manusia), dan sistem sosial (sekolah).
2. Berdasarkan asal usul kejadiannya, sistem
dibedakan menjadi dua jenis yaitu sistem alamiah (tata surya) dan sistem buatan
manusia (pendidikan).
3. Berdasarkan daya gerak yang ada di dalamnya,
sistem dibedakan menjadi dua jenis yaitu sistem mekanistik/deterministic
(sepeda motor) dan sistem organismik/probabilistic (organisasi).
4. Berdasarkan hubungan dengan lingkungannya, sistem
dibedakan menjadi dua jenis yaitu sistem terbuka (sistem yang berinteraksi dan
memiliki ketergantungan kepada lingkungan atau sistem lain yang ada di dalam
suprasistemnya, mengambil input dari lingkungannya dan memberikan output kepada
lingkungannya dan sistem tertutup (sistem yang tidak berhubungan dengan
lingkungan) (Dinn Wahyudin,2008:8.4-8.5).
Ciri-ciri umum suatu sistem adalah :
1. Merupakan suatu kesatuan atau
holistic
2. Memiliki bagian-bagian yang
tersusun sistematis dan berhierarki
3. Bagian-bagian itu berelasi satu
dengan yang lain
4. Konsem/peduli terhadap konteks
lingkungannya (Made Pidarta,2007:28).
Contohnya balpoin sebagai suatu sistem
merupakan suatu kesatuan. Bagiannya terdiri dari tutup dan badan. Badan terdiri
dari bagian luar dan isi. Isi terdiri dari buluh, tinta, dan bola/ujung.
Bagian-bagian itu adalah bertingkat atau berhierarki dan berelasi satu dengan
yang lain. Sedangkan konsep terhadap lingkungan tampak pada badannya yang enak
dipegang ketika menulis, bola/ujungnya lancip sehingga tulisan menjadi baik,
dan tutupnya diisi cantelan sehingga bisa digantungkan di kantong.
Suatu sistem biasanya disajikan dalam
bentuk model. Menurut Elias M. Awad, model adalah suatu representasi sistem
yang nyata atau yang direncanakan. Murdick dan Ross menjelaskan bahwa model
merupakan abstraksi realitas, namun karena model tidak mampu menyajikan
realitas secara rinci atau detail maka model hanya menyajikan bagian-bagian
atau ciri-ciri tertentu yang penting saja dari realitas.[3]
Karhi Nisjar S dan Winardi (1977:65) menjelaskan bahwa salah satu cara
menggambarkan sistem adalah dengan menekankan unsur input, proses, dan
outputnya (Dinn Wahyudin,2008:8.6).
Pendidikan merupakan sistem terbuka,
sebab tidak mungkin pendidikan dapat melaksanakan fungsinya dengan baik bila ia
mengisolasi diri dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pendidikan adalah filsafat negara, agama, sosial, kebudayaan, ekonomi, politik,
dan demografi. Ketujuh faktor ini merupakan suprasistem dari sistem pendidikan
(Made Pidarta,2007,30-31).
Jadi pendidikan sebagai sistem berada
bersama, terikat, dan tertenun di dalam suprasistemnya yang terdiri dari tujuh
sistem tersebut di atas. Berarti membangun suatu lembaga pendidikan baru atau
memperbaiki lembaga pendidikan lama, tidak dapat memisahkan diri dari
suprasistem tersebut.
Pendidikan dapat didefenisikan sebagai
keseluruhan yang terpadu dari sejumlah komponen yang saling berinteraksi dan
melaksanakan fungsi-fungsi tertentu dalam rangka membantu anak didik agar
menjadi manusia terdidik sesuai tujuan yang telah ditetapkan. Ditinjau dari
asal usul kejadiannya, pendidikan tergolong kepada sistem buatan manusia (a man
made system); ditinjau dari wujudnya, pendidikan tergolong kepada sistem sosial,
sedangkan jika ditinjau dari hubungan dengan lingkungannya pendidikan merupakan
sistem terbuka (Dinn Wahyudin,2008:8.7).
Setelah membahas pendidikan sebagai
sistem di tengah-tengah suprasistemnya, pembahasan dilanjutkan dengan lembaga
pendidikan sebagai sistem. Sistem sekolah atau perguruan tinggi dalam garis
besarnya terdiri dari subsistem-subsistem tujuan, manajemen, prosesing peserta
didik, dan lingkungan. Selanjutnya system lembaga atau organisasi pendidikan
bila ditinjau dari instrument untuk memproses peserta didik memiliki subsistem
dan sub-subsistem sebagai berikut :
1. Subsistem perangkat
lunak yang mencakup :
1.
Sub-subsistem manajemen
2.
Sub-subsistem struktur
3.
Sub-subsistem teknik
4.
Sub-subsistem bahan pelajaran
5.
Sub-subsistem informasi
6.
Subsistem perangkat keras yang mencakup :
a.Sub-subsistem
prasarana seperti jalan, lapangan olahraga, dan halaman sekolah
b.Sub-subsistem
sarana/fasilitas seperti gedung, laboratorium, perpustakaan, media pendidikan,
alat-alat belajar, dan alat-alat peraga
c.Sub-subsistem
biaya
d.Sub-subsistem
orang mencakup pengelola, pengawas, pendidik, pembimbing, dan tenaga-tenaga
penunjang pendidikan lainnya.
Sistem
manajemen mencakup subsistem-subsistem struktur, teknik, personalia, informasi,
dan lingkungan. Pendidikan sebagai sistem adalah sistem pengembangan input
menjadi output atau pengembangan peserta didik baru masuk sampai lulus adalah
1. Subsistem input
: peserta didik yang baru masuk
2. Subsistem proses
: proses belajar mengajar
3. Subsistem output
: lulusan lembaga pendidikan itu
Bila
proses belajar mengajar dipandang sebagai sistem , maka subsistem-subsistemnya
adalah bahan pelajaran, metode belajar mengajar, alat belajar/alat peraga/media
belajar, lingkungan/iklim belajar, manajemen/administrasi kelas, para
siswa/mahasiswa, pendidik, pengawas, dan evaluasi/umpan balik (Made Pidarta,2007:32-34).
Philip
H.Coombs (Depdikbud, 1984/1985:68) mengidentifikasi adanya 12 komponen pokok
sistem pendidikan yaitu :
1.
Tujuan
dan prioritas, fungsinya untuk mengarahkan kegiatan system
2.
Anak
didik, fungsinya belajar hingga mencapai tujuan pendidikan
3.
Pengelolaan,
fungsinya merencanakan, mengkoordinasikan, mengarahkan, dan menilai system
4.
Struktur
dan jadwal, fungsinya mengatur waktu dan mengelompokkan anak didik berdasarkan
tujuan tertentu
5.
Isi/kurikulum,
fungsinya sebagai bahan yang harus dipelajari anak didik
6.
Pendidik/guru,
fungsinya menyediakan bahan, menciptakan kondisi belajar, dan menyelenggarakan
pendidikan
7.
Alat
bantu belajar, fungsinya memungkinkan proses belajar mengajar menarik, lengkap,
dan bervariasi
8.
Fasilitas,
fungsinya sebagai tempat terselenggaranya pendidikan
9.
Teknologi,
fungsinya mempermudah atau memperlancar pendidikan
10.
Pengawasan
mutu, fungsinya membina peraturan dan standar pendidikan
11.
Penelitian,
berfungsi mengembangkan pengetahuan, penampilan sistem, dan hasil kerja system
12.
Biaya,
berfungsi sebagai petunjuk efisiensi sistem
Dalam
sistem pendidikan terjadi proses transformasi yaitu proses mengubah raw input
(anak didik) agar menjadi manusia terdidik sesuai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam hal ini, semua komponen pendidikan melaksanakan fungsinya masing-masing
dan berinteraksi satu sama lain yang mengarah kepada pencapaian tujuan
pendidikan. Adapun output atau hasilnya adalah manusia terdidik yang
diperuntukkan bagi masyarakat atau sistem lain yang berada di dalam
suprasistem. Dalam sistem pendidikan terdapat komponen pengawasan mutu atau
kontrol kualitas.Pelaksanaan fungsi komponen ini akan menghasilkan umpan balik
yang digunakan untuk melaksanakan koreksi untuk proses transformasi berikutnya.
Dengan adanya kontrol kualitas yang menghasilkan feedback untuk melakukan
perbaikan dalam proses transformasi berikutnya, ini diharapkan agar sistem
pendidikan mampu mempertahankan eksistensi dan meningkatkan prestasinya (Dinn
Wahyudin, 2008:8.9-8.10).
Jadi
makna memandang pendidikan sebagai sistem adalah dalam menangani pendidikan,
baik mempertahankan yang sudah ada, memperbaiki , maupun mengadakan sesuatu
yang baru hendaklah memperhatikan bagian-bagiannya atau semua subsistemnya
secara berimbang atau proporsional. Hanya dengan cara ini perbaikan dan kemajuan
pendidikan diharapkan tercapai.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ø Perspektif Evolusionis: Perspektif ini merupakan perspektif teoretis yang paling
awal dalam sosiologi. Penganutnya adalah Auguste Comte dan Herbert Spencer.
Perspektif ini memberikan keterangan yang memuaskan tentang bagaimana
masyarakat manusia tumbuh dan berkembang.
Ø Perspektif Fungsionalis: Dalam perspektif ini, masyarakat dilihat sebagai suatu
jaringan kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi dan teratur, serta
memiliki seperangkat aturan dan nilai yang dianut sebagian besar anggota
masyarakat tersebut. Jadi, masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang
stabil, selaras, dan seimbang. Dengan demikian menurut pandangan perspektif
ini, setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu secara
terus-menerus, karena hal itu fungsional. Sehingga, pola perilaku timbul karena
secara fungsional bermanfaat dan apabila kebutuhan itu berubah, pola itu akan
hilang atau berubah.
Ø Perspektif
Interaksionisme: Perspektif ini
cenderung menolak anggapan bahwa fakta sosial adalah sesuatu yang determinan
terhadap fakta sosial yang lain. Bagi perspektif ini, orang sebagai makhluk
hidup diyakini mempunyai perasaan dan pikiran. Dengan perasaan dan pikiran
orang mempunyai kemampuan untuk memberi makna terhadap situasi yang ditemui,
dan mampu bertingkah laku sesuai dengan interpretasinya sendiri. Sikap dan
tindakan orang tidak dipaksa oleh struktur yang berada di luarnya (yang
membingkainya) serta tidak semata-mata ditentukan oleh masyarakat. Jadi, orang
dianggap bukan hanya mempunyai kemampuan mempelajari, memahami, dan
melaksanakan nilai dan norma masyarakatnya, melainkan juga bisa menemukan,
menciptakan, serta membuat nilai dan norma sosial (yang sebagian benar-benar
baru). Karena itu orang dapat membuat, menafsirkan, merencanakan, dan
mengontrol lingkungannya.
Ø Perspektif Konflik: Pemikiran perspektif
konflik menekankan pada adanya perbedaan pada diri individu dalam mendukung
suatu sistem sosial. Menurut perspektif konflik masyarakat terdiri dari individu
yang masing-masing memiliki berbagai kebutuhan (interests) yang sifatnya
langka. Keberhasilan individu mendapatkan kebutuhan dasar tersebut
berbeda-beda, hal ini dikarenakan kemampuan individu untuk mendapatkannya pun
berbeda-beda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan itulah yang akan memicu
munculnya konflik dalam masyarakat
Ø Perspektif Struktural
Fungsional: Perspektif struktural
fungsional banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu alam khususnya oleh ilmu biologi.
Perspektif ini menganalogikan masyarakat seperti mahluk hidup atau yang dikenal
dengan istilah “organisme”. Masyarakat terdiri dari berbagai unsur yang saling
berhubungan dan menjalankan fungsinya masing-masing.
Ø Perspektif
Interaksionisme simbolik:
Perspektif Interaksionisme simbolik melihat masyarakat sebagai kumpulan
individu-individu yang berinteraksi secara tatap muka dan membentuk konsensus
sosial. Perkembangan diri (kepribadian) individu berasal dari komunikasi dan
interaksi sosial. Perubahan sosial bagi perspektif ini terjadi ketika tidak ada
lagi konsensus bersama mengenai perilaku yang diharapkan. Perubahan itu
termasuk dikembangkannya pencapaian konsensus yang baru. Perspektif ini
menekankan pada konsep-konsep interpretasi, konsensus, simbol-simbol, adanya
harapan-harapan bersama, dan kehidupan sosial membentuk kenyataan social.
Ø Banyak teori-teori yang
berasal dari disiplin keilmuan antara lain :
·
Landasan
teori dari ilmu perilaku : untuk menghasilkan perilaku tertentu secara
sistematik guna keperluan pembelajaran
·
Landasan
teori dari ilmu komunikasi : untuk memahami dan meningkatkan efisiensi bidang
audiovisual
·
Landasan
teori dari disiplin lain (misal ilmu elektronika) : untuk mengkoordinasikan
orang-mesin-informasi, adanya informasi untuk pengendalian, dan adanya analisis
yang menyeluruh serta perencanaan jangka panjang.
Esensi system adalah suatu keseluruhan yang memiliki
bagian-bagian yang tersusun secara sistematis, bagian itu berelasi satu dengan
yang lain, serta peduli terhadap konteks lingkungannya.
Pendidikan merupakan keseluruhan yang terpadu dari
sejumlah komponen yang saling berinteraksi dan melaksanakan fungsi-fungsi
tertentu dalam rangka membantu anak didik agar menjadi manusia terdidik sesuai
tujuan yang telah ditetapkan. Ditinjau dari asal usul kejadiannya, pendidikan
tergolong kepada sistem buatan manusia; ditinjau dari wujudnya, pendidikan
tergolong kepada sistem sosial; ditinjau dari hubungan dengan lingkungannya,
pendidikan merupakan sistem terbuka.
DAFTAR
PUSTAKA
Dinn Wahyudin, Pengantar
Pendidikan, Jakarta : Universitas Terbuka, 2008
http://rosdianablog.blogspot.com/2009/06/landasan
teori dan konsep sistem.html
http://ftsi.files.wordpress.com/2007/09/si-akuntansi.pdf
Made Pidarta, Landasan
Kependidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 2007
http://alfinnitihardjo.ohlog.com/perspektif-dalam-sosiologi.oh112670.html